Tidak ada yang menyangkan tagar #AllEyesOnPapua akan bergema sedemikian masifnya. Bermula ketika Suku Awyu melakukan aksi damai dan ritual adat di depan Mahkamah Konstitusi, dan…. BOOOOMMMM! Viral dan publik melihatnya sebagai aksi kemanusiaan yang perlu diamplifikasi.
Tapi tulisan ini tidak akan fokus pada bagaimana tagar tersebut menjadi trending, malainkan tentang masalah substansial lagi: Hutan Papua. Hutan Papua adalah benteng terakhir –tidak hanya bagi warga asli Papua, tapi juga bagi Bangsa Indonesia– dalam menghadapi krisis iklim. Oligarki sudah menancapkan gurita bisnis ekstraktifnya, dan merusak jutaan hutan di Sumatra, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi sejak 5 dekade terakhir. Bisnis ekstraktif itu dilakukan dengan embel-embel investasi dan pembangunan. Memang industri ekstraktif ini mendatangkan nilai ekonomi, namun model bisnis ekstraktif ini hanya memandang alam sebagai sesuatu yang harus dikeruk sampai habis. Jika komoditasnya sudah habis, industri tersebut tutup dan cari wilayah lain untuk dikeruk. Masalah barupun muncul: ketimpangan ekonomi karena pengangguran baru, dan masalah kerusakan lingkungan. Padahal jika ditilik lebih dalam lagi, dampak ekonominya hanya dinikmati para cukong dan taipannya, lalu masalah dampak lingkungannya dirasakan langsung oleh masyarakat luas.
Suku Awyu dan Suku Moi adalah salah satu terdampak dari model ekstraktif ini, tanahnya terancam oleh banyak perusahaan besar untuk diolah menjadi perkebunan sawit. Dengan kata lain masyarakat adat ini akan dirusak tempat tinggalnya secara paksa. Padahal hutan adat ini adalah sumber dan penopang kehidupan sejak jaman leluhur mereka dahulu.
Masyarakat adat tidak tinggal diam, Suku Awyu memilih untuk memperjuangkannya secara legal dan terhormat di mata hukum. Pada 13 Maret 2023, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, mengajukan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke PTUN Jayapura. Ia menggugat izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemprov Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL) yang menguasai 39.190 hektar lahan sejak 2017. Itu baru PT IAL saja, dalam riset Greenpeace Setop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua ada banyak perusahaan dan diantara melibatkan tokoh-tokoh penting di Jakarta.
Sayangnya, pengadilan tampaknya belum berpihak kepada masyarakat adat dan pelindungan lingkungan hidup. Pada 2 November 2023, PTUN Jayapura menolak gugatan Hendrikus Woro. Hendrikus lantas mengajukan banding ke PTUN Manado, wilayah administratif dimana perusahaan itu terdaftar. Namun keputusan hakim di PTUN Manado juga memberatkan perjuangan Suku Awyu. Terlebih para hakim yang bertugas saat itu tidak memiliki latar belakang dan pengalaman mengenai hukum ekologi.
Perjuangan Suku Awyu tak lantas padam, Maret 2024, Hendrikus dan kuasa hukumnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang ditandai dengan penyerahan memori kasasi ke PTUN Jayapura. Sejumlah anak muda adat pun turut menggelar aksi damai di PTUN Jayapura untuk mengiringi penyerahan memori kasasi tersebut.