Keputusan pemerintah Indonesia untuk tidak menaikkan target NDCs yang rencananya akan diserahkan kepada Sekretariat United Nations Framework Convention of Climate Change (UNFCCC) pada Maret mendatang sangat mengecewakan dan akan berdampak serius. “Upaya Indonesia tersebut tidak akan mampu menyelamatkan masyarakat dari bencana krisis iklim. Kenaikan temperatur global sekitar 1 derajat Celcius saat ini telah meningkatkan frekuensi dan dampak bencana hidrometeorologi secara drastis”, ungkap Adila Isfandiari, Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) menunjukkan, intensitas bencana hidrometeorologi di Indonesia -seperti banjir, puting beliung, tanah longsor dan kekeringan- terus meningkat dalam lima tahun terakhir, yakni, 2014 (1.967 kejadian), 2015 (1.732), 2016 (2.343), 2017 (2.869), 2018 (2.573) dan 2019 (3.721 bencana). Bencana tersebut tidak hanya mengancam manusia dan kehidupannya, tetapi juga pembangunan ekonomi yang saat ini menjadi prioritas pemerintah.
“Berdasarkan perhitungan Climate Action Tracker, dengan target NDCs Indonesia saat ini, kenaikan temperatur global dapat mencapai 4 derajat Celcius. Ini tentu jauh dari cukup untuk mencapai target 1.5 derajat Celcius”, tambah Adila.
Pemerintah belum serius mengurangi emisi terlihat dari dua sektor utama penghasil emisi yaitu sektor LULUCF (land-use, land-use change and forestry) dan sektor energi. Kebijakan pemerintah saat ini yang memprioritaskan pembangunan ekonomi semakin melemahkan usaha penurunan emisi. Pemerintah belum menunjukkan usaha maksimal untuk mengatasi kebakaran hutan dan gambut serta degradasi lahan yang merupakan sumber utama emisi Indonesia, Dengan demikian, sektor LULUCF merupakan sektor tumpuan penurunan emisi Indonesia.
Dari 1 Januari hingga 22 Oktober 2019, dari kebakaran lahan terjadi pelepasan 465 juta ton CO2 yang setara dengan total emisi gas rumah kaca Inggris dalam setahun. “Kebakaran hutan, lahan dan gambut yang kerap terjadi setiap tahunnya akan memperparah kondisi krisis iklim di Indonesia. Upaya penegakan hukum oleh pemerintah belum memberikan efek jera dan sistem pencegahan kebakaran hutan dan lahan belum berjalan efektif, “kata Jasmine Puteri, Juru Kampanye Hutan Indonesia.
Transisi energi dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan belum terlihat. Energi kotor batubara masih mendominasi sektor kelistrikan Indonesia, yaitu sekitar 62% dari kapasitas pembangkit di Indonesia, sementara energi terbarukan masih stagnan pada angka 12%. Penambahan kapasitas pembangkit listrik batubara sebesar 27 Gigawatt seperti yang direncanakan dalam RUPTL 2019-2028 akan meningkatkan emisi GRK dalam jumlah besar. Saat ini, Indonesia telah memiliki 28 Gigawatt pembangkit batubara dengan emisi sekitar 168 juta ton pertahun.
Proses konsultasi penyusunan Updated NDCs Indonesia 2020 juga tidak melibatkan publik dan tidak transparan. “Proses penyiapan resubmission NDCs tidak inklusif, masyarakat tidak dilibatkan dalam prosesnya dan tidak ada ruang yang cukup bagi masyarakat untuk mencermati dan memberi masukan. Demikian pula dalam pembahasan penyiapan Biennale Update Report (BUR), laporan capaian Indonesia yang akan diserahkan pada tahun ini. Padahal masyarakat punya hak untuk tahu apa yang akan disampaikan secara resmi, baik angka capaian dan prosesnya.” ungkap Jasmine.
Narahubung:
Adila Isfandiari, Peneliti Iklim dan Energi, [email protected], +62811155760
Jasmine Puteri, Juru Kampaye Hutan, [email protected] +44 7951645453