Jakarta, 5 Agustus 2025 – Selama satu  dekade terakhir pemerintah dan para pemimpin dunia terus berusaha untuk mengakhiri kemiskinan global, mengatasi krisis iklim, dan mewujudkan sejumlah pembangunan berkelanjutan lainnya. Sementara, dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian, infrastruktur, kesehatan, dan produktivitas dapat menyebabkan kerugian ekonomi global sebesar USD 38 triliun per tahun pada tahun 2050. Lebih parah lagi, negara-negara berpendapatan rendah menghadapi kerugian tahunan lebih dari USD 300 miliar akibat krisis iklim.

Di sisi lain, sejak 2015, kekayaan 1% orang terkaya di dunia meningkat drastis hingga mencapai lebih dari USD 33,9 triliun, yaitu 22 kali lipat dari jumlah yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan global setiap tahun. Padahal, emisi karbon yang dihasilkan oleh kelompok 1% orang terkaya berkontribusi sebesar 16% pada emisi karbon global atau setara dengan emisi yang dihasilkan oleh 66% kelompok termiskin yang jumlahnya 5 milyar penduduk dunia (Oxfam, 2023).

Sebagai respon atas ketimpangan ekonomi yang semakin tajam dan krisis iklim yang terus memburuk, Greenpeace Indonesia mengirimkan surat resmi kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, pada 31 Juli 2025. Hal ini untuk mendesak pemerintah agar mengambil sikap tegas dan aktif dalam memperjuangkan keadilan fiskal sebagai bagian dari solusi krisis iklim global dalam ajang Konvensi Pajak PBB (UN Tax Convention) yang akan berlangsung dari awal Agustus hingga November 2025. 

Greenpeace menyerukan penerapan pajak yang lebih tinggi bagi perusahaan-perusahaan perusak lingkungan dan kelompok super-kaya. Pendapatan dari pajak tersebut berpotensi menjadi sumber pembiayaan yang penting untuk mendukung pembangunan berkelanjutan serta penanganan dampak krisis iklim.

Dalam suratnya, Greenpeace menekankan pentingnya keberpihakan fiskal terhadap kelompok rentan yang terdampak langsung oleh krisis iklim. Greenpeace juga mendesak Pemerintah Indonesia untuk memainkan peran strategis dalam forum-forum internasional mendatang seperti Konvensi Pajak PBB dan KTT G20.

“Ini saatnya memanfaatkan momentum global untuk menuntut kontribusi nyata dan adil dari industri ekstraktif dan kelompok super-kaya, mereka yang terus meraup keuntungan masif di tengah krisis yang justru memperburuk penderitaan masyarakat dan kerusakan lingkungan,” tegas Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak.

Indonesia harus berperan aktif di forum Internasional

Dalam negosiasi formal Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) menuju Belem, Greenpeace mendorong pemerintah untuk secara aktif mengangkat pentingnya Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle) dan penerapan pajak lingkungan yang progresif. Langkah ini dinilai penting untuk meningkatkan kapasitas fiskal negara secara inovatif dalam menghadapi kebutuhan pendanaan iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Dalam Konvensi Pajak PBB yang berlangsung Agustus hingga November 2025, Greenpeace meminta pemerintah mendukung penambahan sub-komitmen pajak lingkungan progresif di bawah kerangka pajak dan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, diusulkan mekanisme perpajakan global terhadap keuntungan perusahaan multinasional pencemar seperti industri minyak, gas, batubara, petrokimia, dan sektor intensif karbon lainnya, di mana hasil pajaknya diarahkan untuk pembiayaan iklim dan pembangunan global. Greenpeace juga mendorong penerapan pajak kekayaan progresif terhadap individu-individu ultra-kaya dan super polluters, dengan tarif yang meningkat seiring kekayaan dan dampak emisi, serta penggunaan penerimaannya untuk aksi krisis iklim.

Dalam KTT G20 yang dipimpin Afrika Selatan, Greenpeace mendorong Indonesia menyuarakan dukungan terhadap penerapan Pajak Kekayaan Minimum Global, yang akan diimplementasikan melalui kerangka Konvensi Pajak PBB. Pajak ini diharapkan menjadi instrumen penting untuk memastikan kelompok ultra-kaya ikut memberikan kontribusi yang adil terhadap pembiayaan aksi iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Selain itu, Greenpeace mendorong pemanfaatan Satuan Tugas Pemungutan Pajak Solidaritas Global dan koalisi baru untuk memajaki orang super kaya  sebagai sarana untuk mendorong perjanjian internasional yang lebih kuat guna memajaki perusahaan minyak, gas, dan batubara multinasional sebagai sumber perusak lingkungan, maupun individu-individu dengan kekayaan sangat besar, dalam rangka membantu membiayai aksi-aksi penanganan krisis iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Survei terbaru Greenpeace dan Oxfam di 13 negara juga menunjukkan bahwa 86% masyarakat dunia mendukung penerapan pajak lebih tinggi bagi perusahaan minyak dan gas, dan 90% mendukung kenaikan tarif pajak untuk kelompok super-kaya, untuk membantu masyarakat yang paling terdampak bencana iklim.

Greenpeace menyatakan kesiapannya untuk berdiskusi langsung dengan pemerintah guna membahas lebih dalam mengenai potensi kebijakan fiskal progresif sebagai solusi iklim. Surat ini juga ditembuskan kepada Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia.

“Pemerintah Indonesia harus berdiri di garis depan dalam menuntut keadilan iklim global. Pajak bukan sekadar instrumen ekonomi, tetapi alat perjuangan untuk masa depan bumi dan generasi mendatang,” tutup Leonard.

Informasi selengkapnya

Jeanny Sirait (Juru Kampanye Keadilan Iklim Greenpeace Indonesia) – 085810423390

Rahka Susanto (Juru Kampanye Komunikasi Greenpeace Indonesia) – 08111098815