Jakarta, 18 November 2025 – Bertepatan dengan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB (COP 30) yang sedang berlangsung di Belém, Brazil, sejumlah aktivis Greenpeace menggelar aksi damai di lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Muara Karang, Jakarta Utara. Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap inkonsistensi kebijakan energi nasional, secara simbolis menunjukkan bahwa janji iklim global harus diwujudkan dengan target iklim yang ambisius, dengan menghentikan ketergantungan terhadap energi fosil, seperti pengembangan energi gas fosil sebagai energi transisional.
Tak hanya itu, aksi ini juga adalah protes terhadap pemerintah yang memberikan ruang terhadap 46 pelobi industri fosil dalam delegasi negara di panggung COP 30, yang sama saja dengan memberikan industri tersebut karpet merah, sehingga komitmen transisi energi Indonesia patut dipertanyakan.
Saat ini, RUPTL 2025–2034 masih memuat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan pembangkit gas fosil baru, meskipun KEN (Kebijakan Energi Nasional) dan SNDC (Second Nationally Determined Contribution) menargetkan peningkatan porsi energi terbarukan. Jika proyek-proyek tersebut tetap berjalan, Indonesia akan terjebak dalam jebakan emisi karbon dan metana selama puluhan tahun. Target energi terbarukan yang ditetapkan KEN dan RUKN sebesar 22% pada 2030, sementara RUPTL hanya menambah sekitar 20–22 GW energi terbarukan, jauh dibawah kebutuhan jalur 1,5°C yang menuntut percepatan lebih agresif. Untuk mendukung target 1,5°C, bauran energi terbarukan idealnya harus mencapai 55% bahkan sampai 82% pada tahun 2030.

Aksi ini secara khusus menyoroti dan menolak narasi yang menempatkan gas sebagai “energi transisional”, karena gas adalah energi fosil yang masih menghasilkan emisi karbon signifikan. Dalam laporan Greenpeace dan Celios, ekspansi pembangkit gas fosil dalam skenario 22 GW akan mengakibatkan lonjakan emisi CO2 hingga 49,02 juta ton per tahun, dan emisi Metana (CH4) hingga 43.768 ton per tahun.
“Penggunaan gas secara masif justru menciptakan inkonsistensi antara kebijakan energi nasional dengan komitmen transisi energi, dan berpotensi mengunci Indonesia pada infrastruktur fosil selama puluhan tahun ke depan serta menghambat laju pencapaian target iklim yang sesungguhnya”, ucap Yuyun Harmono, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Indonesia memiliki potensi energi terbarukan sekitar 3.600 GW, termasuk 3.200 GW dari tenaga surya, menurut Kementerian Energi (ESDM). Namun, energi terbarukan baru berkontribusi kurang dari 15% terhadap bauran energi nasional, sementara pemerintah masih berencana untuk mempertahankan kapasitas energi fosil lebih dari 40% hingga tahun 2034.
Di tengah ancaman cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi di Indonesia, Greenpeace menegaskan bahwa transisi energi harus fokus di energi terbarukan seperti surya dan angin, bukan pada peralihan dari batu bara ke gas. Ini adalah satu-satunya cara yang kredibel untuk mencegah dampak krisis iklim yang lebih dahsyat dan memastikan masa depan energi yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Kumpulan foto dapat diakses di sini.
Kontak media:
Yuyun Harmono, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, +62 813-8507-2648
Rahma Shofiana, Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 8111 461-674


