Seoul, Korea Selatan, 25 November 2019 – Pendanaan Korea Selatan untuk pembangkit batu bara di luar negeri yang sangat berpolusi diproyeksikan menyebabkan 47.000 hingga 151.000 total kematian dini selama 30 tahun di negara-negara seperti Vietnam, Indonesia dan Bangladesh, ungkap sebuah laporan baru yang dirilis oleh Greenpeace Asia Timur dari kantor Seoul.

The Life with Coal Power Plants in Suralaya, Indonesia. © Ulet  Ifansasti / Greenpeace
© Ulet Ifansasti / Greenpeace

Saat dampak perubahan iklim global semakin serius dari pembakaran batu bara berlebih, Korea Selatan – melalui lembaga keuangan publik (PFA) – malah membiayai pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri yang dapat melepaskan polusi udara hingga 33 kali lebih buruk daripada yang dibangun di Korea Selatan.

Tata Mustasya, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, mengatakan:

“Pembakaran batu bara melepaskan partikel polutan yang menembus ke dalam sel darah kita, merusak setiap organ dalam tubuh kita, menyebabkan mulai dari demensia hingga membahayakan anak-anak yang belum lahir. Batu bara juga merupakan kontributor terburuk tunggal untuk krisis iklim global.”

Negara-negara yang menjadi tuan rumah pembangkit batu bara yang didanai oleh Korea Selatan, banyak diantaranya di Asia Tenggara, sangat rentan terhadap dampak polusi udara dan perubahan iklim. Pemerintah negara penerima investasi harus melindungi warganya dan planet ini, dengan melakukan transisi cepat dari batu bara ke energi bersih dan terbarukan.”

Salah satu pembiayaan batu bara Korea Selatan di Indonesia adalah PLTU Jawa 9&10 dengan kapasitas 2 X 1.000 MW, yang berlokasi di Suralaya, Banten. Berdasarkan pemodelan yang dilakukan oleh Greenpeace, jika rencana ekspansi ini tetap dibangun dan beroperasi, diprediksi akan mengakibatkan 4.700 kematian dini selama 30 tahun masa operasi PLTU. Kematian dini tersebut disebabkan oleh berbagai penyakit pernapasan serius akibat debu batu bara yaitu, paru-paru obstruktif kronis, kanker paru, ISPA, diabetes, hingga stroke.

“Angka kematian dini tersebut bisa ditekan jika Indonesia menerapkan standar emisi untuk pembangkit termal yang lebih ketat, atau minimal sama dengan yang diterapkan di Korea Selatan. Pada saat bersamaan, Indonesia harus menghentikan pembangunan PLTU batu bara baru dan secara bertahap menutup pembangkit yang sudah beroperasi. 

“Investasi berstandar ganda ini jelas berpotensi meracuni warga Banten, dan membebani keuangan negara melalui naiknya biaya kesehatan,” tegas Tata. 

Analisis dan pemodelan kantor Greenpeace East Asia, Seoul menemukan:

“Pada 2017, presiden Moon Jae-In dan pemerintahannya mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengizinkan pembangkit listrik batu bara baru di negara ini. Sementara itu, pemerintah Korea Selatan, antara Januari 2013 hingga Agustus 2019, telah menghabiskan dana 7 triliun KRW (sekitar 5,7 miliar USD) untuk pembangkit batu bara di luar negeri dengan batas emisi yang buruk. Standar ganda ini mengancam ribuan nyawa dan planet kita, ini harus dihentikan, ”kata Mari Chang, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Timur, di Seoul.

Sudah waktunya bagi Presiden Moon Jae-In dan pemerintahannya untuk tidak hanya menerapkan standar energi bersih domestik pada investasi asing, tetapi juga segera beralih dari pembiayaan batu bara kotor ke sumber energi terbarukan. Perubahan dalam kebijakan dan investasi ini harus terjadi sekarang untuk melindungi kesehatan manusia dan masa depan planet kita.

Catatan editor:

Kontak media: