Jakarta, 15 Mei 2019 – Greenpeace Indonesia dan BaliFokus/ Nexus3 hari ini menggelar diskusi media yang membahas tentang peraturan menteri yang baru saja dikeluarkan mengenai revisi baku mutu emisi pembangkit termal. Regulasi tersebut tertuang pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No.15/2019 yang mengatur baku mutu emisi (BME)  pembangkit  listrik tenaga termal, termasuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Coal Power Plants in Suralaya, Indonesia. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Banyak penelitian ilmiah membuktikan bahwa emisi dari PLTU batu bara mengandung berbagai macam polutan yang membahayakan kesehatan manusia, tidak hanya bagi penduduk yang bermukim di sekitar pembangkit, tetapi polutan berbahaya ini juga akan terbawa angin sejauh ratusan kilometer dan berdampak pada masyarakat yang lebih luas.

Dengan adanya dominasi PLTU batubara -yaitu sebesar 47 persen- dalam RUPTL 2019-2028, maka Permen ini memiliki peran yang sangat penting guna meminimalisasi dampak negatif dari PLTU batu bara tersebut. Namun, masih terdapat beberapa kekurangan dalam Permen baru tersebut yang berpotensi menyebabkan gagalnya peraturan ini dalam mengatur emisi yang dikeluarkan PLTU Batu bara dan memperbaiki kualitas udara.

Angka yang diterapkan pada BME PLTU batubara yang baru masih lemah, terutama pada Kategori 1 atau kategori PLTU yang dibangun sebelum Permen ini berlaku”, ucap Tata Mustasya, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara. Angka yang ditetapkan untuk parameter sulfur dioksida (SO2) sebesar 550 mg/Nm3, dan nitrogen oksida (NOx) sebesar 550 mg/Nm3, nilai BME Indonesia tiga hingga 15 kali lebih lemah dibandingkan dengan negara-negara seperti Cina, Jepang dan Korea Selatan. Sedangkan untuk parameter partikulat (PM) sebesar 100 mg/Nm3, nilai BME Indonesia lima hingga 20 kali lebih lemah daripada ketiga negara tersebut.

Kemudian,  penggunaan  terminologi  “dibangun”  pada  peraturan  ini  menimbulkan  multitafsir dalam pengelompokan kewajiban PLTU batu bara terhadap angka BME yang harus dipatuhi [1] .Terminologi “dibangun” memiliki makna yang sangat bervariasi, dimulai dari ketika proyek PLTU telah memiliki perjanjian jual beli listrik (PJBL), proyek PLTU telah memiliki izin lokasi atau izin lingkungan,  sampai  pada  ketika proyek  PLTU  telah memulai masa konstruksinya secara fisik. Untuk  menghindari  kerancuan,  sebaiknya terminologinya bisa diubah menjadi “dibangun dan beroperasi”.

Mayoritas PLTU batu bara di area Jawa-Bali yang sudah dibangun dan beroperasi lebih dari 10 tahun masih terikat pada BME yang lemah, yaitu pada Kategori 1, di mana PLTU batu bara yang masuk pada kategori ini berjumlah 61 hingga 67 unit PLTU (86-98 persen dari total kapasitas PLTU di Jawa-Bali). Sedangkan, PLTU batu bara (baru) yang terikat pada BME yang lebih ketat, yaitu Kategori 2, hanya berjumlah satu hingga tujuh unit PLTU (2-14 persen dari total PLTU batu bara di Jawa-Bali). Dengan demikian, sangat diragukan apabila pemberlakuan PermenLHK 15/2019 ini dapat memperbaiki kualitas udara secara signifikan.

“Jakarta akan menjadi ibukota negara di dunia yang dikelilingi oleh proyek PLTU batu bara baru terbanyak, selain saat ini telah dikelilingi PLTU batu bara dalam jumlah besar. BME pada PermenLHK 15/2019 ini dirancang sedemikian rupa sehingga PLTU eksisting dengan tingkat polusi yang tinggi tidak perlu memasang peralatan pengontrol emisi yang efektif, sehingga tujuan dari Permen ini adalah untuk melindungi para pencemar, bukan publik. Bahkan dengan implementasi penuh dari BME ini, PLTU batu bara milik PLN yang berlokasi di sekitar Jakarta akan bertanggung jawab atas sekitar 7.400 kematian dini setiap tahunnya, saat proyek PLTU yang sedang dibangun dan yang direncanakan beroperasi,” ucap Lauri Myllyvirta, analis senior dari Greenpeace Air Pollution Unit.

Dengan permodelan polusi udara yang dibuat oleh Lauri, dapat diindikasikan bahwa sekitar 5.900 kematian dini per tahun dapat dihindari dengan mewajibkan semua PLTU di sekitar Jakarta untuk mematuhi batas emisi yang kuat yang sebanding dengan yang ada di Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Eropa, yaitu 100 mg/Nm3 untuk SO2 dan NOx, dan 10 mg/Nm3 untuk partikulat.

Selanjutnya, ketidakpastian hukum lainnya yang terdapat pada peraturan ini adalah tidak adanya pencabutan   Permen   sebelumnya,   yaitu  PermenLH  21/2008,  sehingga  akan  menimbulkan kebingungan mengenai peraturan mana yang akan dijadikan acuan [2] . Selain itu, ketentuan masa peralihan serta tahapan-tahapan bagi PLTU batubara tersebut untuk mencapai angka BME juga tidak dijabarkan dalam PermenLHK 15/2019, khususnya pada parameter SO2, NOx, dan PM. “Dengan demikian, ketidakpastian hukum ini   akan berdampak pada mekanisme penegakan hukum yang selanjutnya menentukan apakah peraturan ini akan ditaati atau tidak oleh PLTU batu bara di Indonesia,” tutup Tata.

Dari berbagai studi, diketahui bahwa dalam PM 10 maupun PM 2.5, dapat dilihat komposisi persentase logam berat dan kimia-kimia berbahaya lainnya yang menjadi perhatian. “Dengan BME yang longgar dan beban volume emisi yang besar, risiko kesehatan publik menjadi sangat tinggi, terutama pada bayi, balita dan perempuan hamil. Paparan terhadap partikel pencemaran udara sejak dini akan berdampak seumur hidup dan mempengaruhi potensi produktifitas seseorang”, ujar Yuyun Ismawati, Senior Advisor BaliFokus/Nexus3. “Baku mutu emisi seharusnya dibuat dengan standar protektif. Karena di Indonesia belum ada program PRTR [3], emisi pencemar dari berbagai sumber tidak diperhitungkan”, tambahnya.

Menurut Greenpeace dan BaliFokus/Nexus3, terdapat tiga tahap langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam menerapkan peraturan baru ini dan mulai melepaskan ketergantungan terhadap batu bara:

  • Jangka pendek:  pemerintah  perlu  melakukan  pengawasan  pelaksanaan  PermenLHK 15/2019, dan membuka data emisi agar dapat diakses publik;
  • Jangka menengah: pemerintah harus melakukan pengetatan baku mutu emisi, baik untuk PLTU baru maupun lama; dan
  • Jangka panjang segera melakukan transisi ke energi terbarukan dengan menutup PLTU Batu bara.

Catatan Editor:

[1] ICEL. 2019. PermenLHK No. P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal (“PermenLHK 15/2019”)

https://icel.or.id/kertas-kebijakan/permenlhk-no-p-15-menlhk-setjen-kum-1-4-2019-tentang-baku-mutu-emisi-pembangkit-listrik-tenaga-termal-permenlhk-15-2019/

[2] https://icel.or.id/kertas-kebijakan/permenlhk-no-p-15-menlhk-setjen-kum-1-4-2019-tentang-baku-mutu-emisi-pemb angkit-listrik-tenaga-termal-permenlhk-15-2019/

[3] PRTR adalah Pollutant Release and Transfer Register, sistem pencatatan dan registrasi sumber dan volume pencemaran.

Kontak media:

  • Tata Mustasya, Kepala Kampanye Greenpeace Indonesia, +62 812-9626-997
  • Sonia, BaliFokus/ Nexus3, +62 877-8237-8890
  • Rahma Shofiana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 8111-461-674