Siaran Pers Inisiasi Sumatera Selatan Penggugat Asap (ISSPA)

Experts testified at Palembang District Court on May 8 , 2025. Muhammad Dimyati, a sattelite imagery expert, confirmed Greenpeace Indonesia’s spatial analysis of the burned area in the concessions of PT Bumi Mekar Hijau, PT Bumi Andalas Permai, and PT Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industries—three timber companies under the control of Asia Pulp and Paper (Sinar Mas Group). Meanwhile, peatland expert Asmadi Saad explained that chronic peatland fires happened due to companies’ negligence. © Abriansyah Liberto/Greenpeace

Palembang, 8 Mei 2025. Perjalanan sidang gugatan kasus kabut asap yang diajukan sebelas warga Sumatera Selatan hampir memasuki babak akhir. Pihak penggugat menghadirkan dua saksi ahli pamungkas, yakni Muhammad Dimyati, guru besar di bidang ilmu penginderaan jauh dan lingkungan dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, dan Asmadi Saad, ahli gambut dari Fakultas Pertanian Universitas Jambi, di Pengadilan Negeri Palembang.

Para ahli memberikan keterangan ihwal kerusakan lahan gambut yang berujung pada kabut asap di wilayah konsesi PT Bumi Mekar Hijau, PT Bumi Andalas Permai, dan PT Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industries–tiga perusahaan kayu di bawah kontrol Asia Pulp and Paper (Grup Sinar Mas).

Dimyati memaparkan kejadian kabut asap tahun 2015, 2019, dan 2023 dari areal konsesi tergugat di Sumatera Selatan yang terlihat dari citra satelit. Selain itu, Dimyati juga menunjukkan arah angin yang membawa kabut asap kebakaran gambut akibat aktivitas pengeringan lahan gambut sepanjang tahun 2000-2020. “Dengan pendekatan spasial, sebaran dan pola kabut asap, atau dampak dari kebakaran gambut dapat dengan mudah dilihat,” kata Dimyati.

Ia memaparkan, dengan analisis spasial, dapat dilihat bahwa luas area terbakar di tiga konsesi korporasi itu mencapai 473 ribu hektare, atau setara 92 persen dari total areal terbakar di KHG SSSL dalam kurun 2001-2020. Dari angka tersebut, sebanyak 46 persen di antaranya atau 217 ribu hektare terjadi dalam periode 2015-2020. Kebakaran berulang terjadi setidaknya di area seluas 175 ribu hektare. Alih fungsi lahan gambut menjadi kebun hutan tanaman industri (HTI) jelas berdampak mengikis keanekaragaman hayati dan cadangan karbon, yang ujungnya berdampak memperparah krisis iklim.

Sementara itu, Asmadi Saad berargumen bahwa kebakaran lahan gambut berulang dapat terjadi atas kelalaian di sisi pemilik lahan yang abai, sehingga tidak segera melakukan pemulihan atas area yang terbakar. Di akhir kesaksiannya, Asmadi berpesan, “Janganlah kita menilai gambut dari nilai hasil tanamannya saja, tetapi lihatlah juga kerugian dari hilangnya biodiversitas gambut yang berpotensi memperparah krisis iklim. Jika ada yang tidak bisa menerima bahwa gambut ada kaitannya dengan iklim, maka mereka salah.”

Mewakili kepentingan lingkungan hidup yang terdampak, Greenpeace Indonesia maju sebagai penggugat intervensi dalam perkara ini. Greenpeace Indonesia meminta majelis hakim menghukum ketiga tergugat untuk memulihkan lahan gambut yang rusak di lahan konsesi mereka. Organisasi ini juga memohon hakim memerintahkan para tergugat untuk menjamin bahwa pengeringan gambut, kebakaran lahan, dan penyebaran kabut asap dari dalam dan sekitar areal izin mereka tak akan terjadi lagi di masa depan.

“Ini adalah momen krusial bagi para penggugat sebelum menghadapi putusan yang akan datang. Kita tidak boleh lengah mengawal perkembangan gugatan kabut asap ini, karena kemenangan atas gugatan ini tidak hanya merupakan kemenangan bagi para penggugat dan korban yang terdampak, tetapi juga akan menjadi kemenangan bagi lingkungan hidup,” kata Belgis Habiba, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Dukungan bagi korban kabut asap juga mengalir dari berbagai lembaga dan ahli yang mengirimkan amicus curiae kepada majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang, di antaranya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), PP Muhammadiyah, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Satya Bumi, Indonesian Center of Environmental Law (ICEL), serta Linda Yanti Sulistiawati, dosen hukum lingkungan dari Fakultas Hukum UGM yang pernah menjadi perwakilan Indonesia pada Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC).

Dalam suratnya, Komnas HAM menyatakan bahwa kegagalan perusahaan dalam melakukan pencegahan, mitigasi, dan remediasi atas dampak negatif dari aktivitas bisnis mereka merupakan bentuk nyata pengabaian terhadap prinsip internasional mengenai tanggung jawab korporasi terhadap hak asasi manusia.

Catatan Editor: 

[1] PT BMH, PT BAP, dan PT SBA Wood Industries tercatat dalam daftar APP Business Group di dokumen proses pengajuan aplikasi perusahaan untuk masuk kembali ke standar sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC).

[2] Foto dan video dapat diunduh di tautan berikut.

Kontak Media:

Belgis Habiba, Greenpeace Indonesia, +62 897-0005-629

Yolanda Pradinata, LBH Palembang, +62 821-7764-1251

Agnes Alvionita, Greenpeace Indonesia, +62 858-1028-8575

Inisiasi Sumatera Selatan Penggugat Asap (ISSPA):

Greenpeace Indonesia, Pantau Gambut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), YLBHI-LBH Palembang, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Public Interest Lawyer Network (PIL-Net) Indonesia, Spora Institute, Perkumpulan Rawang, Perkumpulan Tanah Air, Dewan Pimpinan Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Selatan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sumatera Selatan, Solidaritas Perempuan Palembang, Sarekat Hijau Indonesia Sumatera Selatan, Spektakel Klab, Kontra Visual, Diskomik, Himpunan Mahasiswa Pertanian Universitas Sriwijaya (Himasperta UNSRI), Aksi Kamisan Sriwijaya, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya (BEM FE UNSRI).