Nadi (Fiji)/Jakarta, 7 September 2025. Greenpeace Asia Tenggara membawa cerita #SaveRajaAmpat ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa, tepatnya pertemuan para menteri dan pemangku kebijakan di bidang lingkungan hidup di Asia Pasifik, yang berlangsung di Nadi pada akhir Agustus lalu. Dalam forum ini, delegasi Greenpeace Asia Tenggara meminta pemerintah negara-negara Asia Pasifik untuk membahas pentingnya tata kelola mineral yang dipandang sebagai kunci dalam transisi energi, misalnya nikel. Senyampang dengan meningkatnya permintaan mineral seperti nikel, kobalt, dan lithium untuk transisi energi, perlu panduan yang mengatur ketat kewajiban pelindungan lingkungan dan HAM dalam rantai pasok mineral.

Forum ini, yang diselenggarakan Badan PBB untuk Lingkungan Hidup (UNEP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Fiji, menjadi ajang yang mempertemukan pemerintah negara-negara, organisasi antarpemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya di Asia Pasifik untuk membahas masalah lingkungan hidup dan krisis iklim. Hasil dari forum ini akan dibawa ke pertemuan dua tahunan Majelis Lingkungan Hidup PBB (United Nations Environment Assembly) yang bakal dihelat di Kenya pada Desember mendatang.
Rayhan Dudayev, Senior Regional Campaign Strategist untuk Greenpeace Asia Tenggara, yang menghadiri pertemuan di Fiji, mengatakan, “Transisi energi kerap dijadikan dalih untuk menjustifikasi pertambangan mineral yang dilabeli ‘kritis’, yang dalam praktiknya mengabaikan dampak-dampak lingkungan dan sosial. Misalnya, seiring dengan masifnya tambang nikel di negara-negara Selatan seperti Indonesia, kawasan kaya keanekaragaman hayati seperti Raja Ampat terancam rusak.”
Dalam kampanye#SaveRajaAmpat, Greenpeace Indonesia mengungkap ancaman tambang nikel yang mengintai kawasan yang kerap dijuluki sebagai “surga terakhir di Bumi” ini. Tambang nikel di Raja Ampat telah memicu deforestasi, sedimentasi, dan polusi yang menghancurkan terumbu karang dan ekosistem laut lainnya. Aktivitas tambang nikel di Raja Ampat juga merusak habitat di daratan, serta memperparah pelanggaran hak-hak masyarakat adat Papua yang sudah lama terjadi.
Pada 10 Juni lalu, pemerintah Indonesia mengumumkan pencabutan empat dari lima tambang nikel yang beroperasi di Raja Ampat. Kendati begitu, hingga saat ini belum ada surat pencabutan resmi dari pemerintah. Greenpeace mendesak pelindungan secara penuh dan permanen untuk lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat adat serta komunitas lokal, dari kepentingan industri ekstraktif yang merusak.

“UNEA harus menghasilkan resolusi yang mengatur tata kelola mineral secara adil dan berkelanjutan, di mana pelindungan hak asasi manusia dan padiatapa (persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan atau FPIC) dari masyarakat adat dan komunitas lokal wajib dilakukan. Kami juga mendesak negara-negara anggota untuk menetapkan kawasan-kawasan tertentu yang rentan dan punya nilai kultural, seperti wilayah masyarakat adat dan situs warisan dunia UNESCO, bebas dari aktivitas pertambangan mineral,” kata Dunxin Weng, Juru Kampanye Greenpeace Asia Tenggara di Malaysia.
Laporan UNESCO menemukan adanya tumpang tindih konsesi tambang minyak, gas, dan mineral dengan kawasan situs warisan dunia. Merujuk laporan itu, sekitar sepertiga situs warisan dunia juga dibebani izin-izin tambang. Di kawasan Asia Pasifik angkanya bahkan lebih tinggi: 42 persen atau 35 dari 84 situs warisan dunia tumpang tindih dengan izin-izin ekstraktif.
Greenpeace Asia Tenggara juga mendesak peserta pertemuan agar dampak invasi militer dan konflik bersenjata terhadap lingkungan hidup dibahas dalam perhelatan UNEA di Kenya pada akhir tahun nanti. Tekanan untuk gencatan senjata dan perdamaian perlu diintegrasikan dengan pemulihan lingkungan dan upaya membangun ketahanan, untuk negara dan masyarakat yang menjadi korban serangan militer.
“Konflik bersenjata di banyak tempat di dunia, apalagi genosida yang terjadi di Gaza yang diperparah dengan bungkamnya komunitas internasional yang sebenarnya punya kekuatan untuk menghentikan kekejaman Israel, telah jelas menghancurkan ekosistem dan melanggar hak asasi atas lingkungan hidup yang sehat. Forum ini harus mengingat kembali kajian awal yang diluncurkan UNEP pada Juni 2024. Laporan tersebut menyatakan bahwa serangan militer Israel ke Gaza telah menimbulkan dampak-dampak ekologis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Masyarakat Gaza menghadapi risiko meningkatnya kerusakan tanah, air, dan polusi udara, serta kerusakan ekosistem yang tak bisa dipulihkan. Semua itu memperburuk penderitaan yang mereka tanggung akibat operasi militer Israel,” tambah Rayhan.***
Kontak Media:
- Rayhan Dudayev – Senior Regional Campaign Strategist, Greenpeace Southeast Asia, [email protected]
- Budiarti Putri – Juru Kampanye Komunikasi, Greenpeace Southeast Asia-Indonesia, [email protected], +62 811-1463-105