Perbudakan anak buah kapal (ABK) Indonesia semakin marak terjadi. Berdasarkan laporan investigasi yang dilakukan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Greenpeace sepanjang tahun 2015 – 2020, terdapat 11 ABK asal Indonesia yang meninggal di atas kapal asing.[1] Salah satu korban meninggal adalah Sugiama Rambalangi. Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa kematian Sugiama diakibatkan oleh pemukulan yang dilakukan oleh mandor kapal pada 03.00 dini hari. Sugiama dipukul pada bagian belakang telinga kiri, setelah insiden pemukulan Sugiama masih melanjutkan pekerjaannya. Namun, pada pukul 06.30 pagi para ABK lainnya menemukan Sugiama sudah meregang nyawa di tempat tidur.

Modern Slavery Of Indonesian Fishers Protest in Jakarta. © Adhi Wicaksono / Greenpeace
The Indonesian Migrant Workers Union (SBMI) together with Greenpeace Indonesia conducted a peaceful action in front of Presidential Palace in Jakarta, to encourage the President to immediately ratify the Government Regulation draft on the Protection of Indonesian migrant fishers. According to the SBMI-Greenpeace Investigation Report Paper regarding data during 2015-2020, there were at least 11 Indonesian crew members who were victims of forced labor and even died on foreign ships. It is not uncommon for their bodies to be thrown into the high seas.
© Adhi Wicaksono / Greenpeace

Praktik tindakan kekerasan dan penganiayaan yang berujung kematian terhadap ABK asal Indonesia ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Lalu, apa yang seharusnya pemerintah Indonesia lakukan dalam merespon hal ini? Salah satu caranya adalah meratifikasi Konvensi ILO 188.

Konvensi ILO 188

International Labour Organization (ILO) atau Organisasi Perburuhan Internasional adalah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berjuang mendorong terwujudnya peluang bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh pekerjaan yang layak, bebas, adil aman dan bermartabat. Salah satu upaya itu dilakukan dengan membentuk Konvensi ILO 188. Konvensi ILO 188 merupakan seperangkat aturan internasional yang berkaitan dengan pekerjaan di sektor penangkapan penangkapan ikan [2]. 

Konvensi ini bertujuan untuk memastikan awak kapal memiliki kondisi kerja yang layak di kapal penangkap ikan seperti persyaratan minimal bekerja di kapal, persyaratan layanan, akomodasi, dan makanan, perlindungan kesehatan keselamatan kerja, serta perawatan dan jaminan sosial.

Seperangkat aturan tersebut tidak dapat begitu saja diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu, perlu upaya pemerintah dalam ratifikasi atau pengesahan untuk mengikat diri dalam konvensi ILO 188 dengan menjadikan undang-undang nasional.

Pentingkah meratifikasi Konvensi itu?

Penangkapan ikan merupakan salah satu pekerjaan dengan risiko kecelakaan dan kematian yang tinggi. Biro Statistik tenaga kerja Amerika melaporkan bahwa ABK adalah pekerjaan paling berbahaya kedua tahun 2019, dengan tingkat kematian kerja 86 kematian per 100.000 pekerja.[3] Para pekerja penangkap ikan menghadapi jam kerja yang tidak sedikit, kerja di tempat yang jauh dari kehidupan, berhadapan dengan kondisi cuaca ekstrim, dan pekerjaan yang membahayakan diri mereka di tengah laut. Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengirim awak perikanan terbesar di kapal asing sudah seharusnya menuntaskan masalah perbudakan ini.[4]

Tuna on Purse Seiner in East Pacific Ocean. © Alex Hofford
Tuna catch of the Ecuadorean purse seiner ‘Ocean Lady’, which was spotted by Greenpeace in the vicinity of the northern Galapagos Islands at LAT 04:09 NORTH / LONG 091:31 WEST while using fishing aggregation devices (FADs). Its bycatch included a large number of unwanted marine life. Greenpeace is calling for a total ban on the use of fish aggregation devices, or FADs, and the establishment of a global network of marine reserves. © Alex Hofford

Regulasi yang telah ada dianggap belum optimal sehingga perbudakan di laut masih sering terjadi. Buktinya di tahun 2020, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menerima aduan sebanyak 104 aduan terkait perbudakan dan kerja paksa yang dialami ABK di laut, meningkat dari tahun 2019 sebanyak 86 aduan [5]. Pentingnya ratifikasi Konvensi ILO 188 oleh Indonesia juga menunjukan komitmen lebih terhadap upaya perlindungan para pekerja di sektor perikanan mencakup nelayan migran. Langkah pemerintah dalam menindaklanjuti hal tersebut sudah dinantikan oleh banyak pihak khususnya pekerja nelayan migran. Sehingga hak-hak pekerja dapat terpenuhi dengan layak.

Dan lebih penting juga bahwa Konvensi C 188 penting harus diratifikasi oleh negara pemilik kapal sebagai instrumen pengawasan terhadap armada yang mereka karena otoritas pengawasan terhadap kapal berada di tangan negara dimana kapal tersebut berasal.

Pengaruh Ratifikasi ILO 188

Brandt Wagner, Kepala Sektor Unit Kelautan, ILO Jenewa menyatakan bahwa konvensi tersebut menetapkan persyaratan yang mengikat terkait pekerjaan di kapal perikanan, termasuk keselamatan dan kesehatan kerja, perawatan medis di laut dan darat, waktu istirahat, perjanjian kerja tertulis, perlindungan sosial dan kondisi kehidupan yang layak.[6]

“Ratifikasi konvensi ini akan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi nelayan di sektor perikanan. Ratifikasi juga akan membuat sektor ini lebih menarik bagi kaum muda dan pekerja muda sehingga dapat mempromosikan lapangan kerja dan berkelanjutan.” ujarnya.

Ratifikasi konvensi ILO 188 sangat penting karena aturan ini akan berpengaruh pada sektor penangkapan ikan. Sebelumnya, aturan yang ada belum secara optimal terlaksana dan tidak mencakup perlindungan terhadap ABK di kapal ikan. Dengan diratifikasinya Konvensi ILO 188 hak-hak para penangkap ikan tidak dikesampingkan.

 Bercermin kepada negara tetangga, Thailand

Sejauh ini telah terdapat 18 negara yang meratifikasi Konvensi ILO 188. Thailand merupakan salah satu dari 18 negara dan negara Asia pertama yang meratifikasi Konvensi tersebut. Langkah yang diambil oleh Thailand merupakan tindakan konkret untuk mendukung upaya perlindungan para pekerja penangkap ikan mereka. Langkah itu disambut baik dari kelompok perikanan dan memiliki dampak positif bagi pekerja nelayan.

Sudah seharusnya pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO 188 untuk mendukung dan melindungi para pekerja penangkap ikan di dalam maupun di luar negeri. Dengan meratifikasi Konvensi ILO 188 juga akan meningkatkan posisi diplomasi Indonesia terhadap negara-negara pemilik kapal agar negara tersebut juga segera meratifikasi Konvensi ILO 188 untuk memastikan hak-hak para ABK dapat terpenuhi dan perbudakan di laut berujung kematian dapat dihentikan.

Afdillah, Ocean Campaigner Greenpeace Indonesia


[1] https://www.greenpeace.org/static/planet4-indonesia-stateless/2020/08/0732fceb-kertas-laporan-investigasi_-data-pengaduan-abk-meninggal-sbmi-2015-2020-rev.-20-agustus-2020.pdf 

[2] Azis Kurmala, ‘Kemenkomaritim: Indonesia Negara Ketiga Terbesar Pemasok Pelaut Dunia’, 2020 <https://www.antaranews.com/berita/1641038/kemenkomaritim-indonesia-negara-ketiga-terbesar-pemasok-pelaut-dunia>.

[3] https://www.themarlincompany.com/blog-articles/dangerous-jobs-2019/ 

[4 ] Konvensi ILO 188 Pekerjaan Dalam Penangkapan Ikan <https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/legaldocument/wcms_145825.pdf>

[5] https://www.greenpeace.org/southeastasia/publication/44492/forced-labour-at-sea-the-case-of-indonesian-migrant-fisher/ 

[6 ] ILO, ‘Peta Jalan Menuju Ratifikasi Konvensi ILO No. 188 Untuk Melindungi Nelayan Indonesia’, 2021 <https://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_777047/lang–en/index.htm>.

Wujudkan Laut Sehat

Laut yang terlindungi dari ancaman kerusakan dan perbudakan adalah sumber kehidupan bagi kita, nelayan, serta hewan dan tanaman laut. Ayo, kita wujudkan laut sehat bersama!

Ikut Beraksi