Keluhan datang dari 62 nelayan migran Indonesia di 41 kapal penangkap ikan yang diduga terlibat aktivitas perbudakan. Angka ini meningkat dua kali lipat jika dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan laporan seabound 2.0 kolaborasi Greenpeace Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), ada beragam praktek kekerasan terhadap ABK (Anak Buah Kapal) yang ditemukan mulai dari pemotongan upah, kondisi kerja dan kehidupan yang penuh kekerasan, penipuan, dan sebagainya. “Kami mengalami transfer ABK, jam kerja yang tidak sesuai, dan diberi makan sedikit layaknya binatang” ungkap mantan ABK dalam peluncuran laporan.
Perbudakan modern di laut telah menghilangkan sebagian hak para nelayan migran Indonesia. Andrisen Ulipi, mantan ABK mengungkap perlakuan yang kurang mengenakan selama dia bekerja di kapal Taiwan dan China. Ulipi menjalankan hari pekerjaan yang panjang selama menjadi ABK. “Kami bekerja melewati batas maksimal kerja, sehingga beberapa dari kami kelelahan” terangnya.
Titik solusi belum dicapai, masalah terus meningkat
Perbudakan yang dialami oleh ABK Indonesia belum mencapai titik solusi dan justru permasalahan semakin meningkat. Indonesia adalah salah satu negara dengan pengirim nelayan migran terbanyak di dunia. Menurut Badan Perikanan Taiwan, terdapat 21.994 ABK Indonesia di tahun 2019 dan naik menjadi 22.224 di tahun 2020. “Jumlah itu meningkat, walaupun di tahun 2020 mengalami pandemi dan itu baru satu negara saja” pangkas Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia.
Menurut Afdillah masalah terjadi tidak hanya di atas kapal. Tetapi juga mencakup semua tahapan mulai dari hulu ke hilir. “Para calon ABK di iming-imingi dengan pendapatan tinggi dan ditambah anggapan kerja di luar negeri adalah suatu prestise” terangnya. ABK disalurkan langsung ke pelabuhan tanpa kontrol dari pemerintah. Pada fase penempatan, ABK mengalami kontrak yang tidak sesuai bahkan transfer ABK pun rawan terjadi.
Keterlibatan agen tenaga kerja
Dalam laporan seabound 2.0 tercatat bahwa 20 agen tenaga kerja Indonesia diduga terlibat dalam perbudakan ini. Beberapa dari agen tenaga kerja tidak memiliki izin untuk merekrut ABK bahkan sering terjadi pemalsuan dokumen. Hal ini dilihat dari banyaknya ABK yang tidak memiliki kompetensi pekerjaan di atas kapal yang belum memenuhi standar. Perbudakan tidak hanya terjadi di laut, tetapi jauh sebelum para ABK ditempatkan. Sehingga perlu kerja sama dan transparansi berbagai otoritas terkait dan pemerintah agar persoalan ini dapat dihentikan.
Hariyanto Suwarno, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengatakan bahwa rekomendasi seabound 2.0 tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Terkait dengan persoalan, upaya memberikan keadilan hukum dan keadilan sosial, dan cara pandang nasional menghadapi hal ini. Menurutnya pemerintah dapat melakukan pengawasan agen tenaga kerja dan memberikan kepastian hukum sehingga para pelaku mendapatkan evaluasi.
“Pemerintah harus mengawasi agen tenaga kerja baik secara hukum, sosial,dan moral. Ini merujuk pada beberapa perusahaan yang terindikasi tindak pidana perdagangan orang tetapi tidak dievaluasi” terangnya. Hariyanto pun menilai bahwa pemerintah sudah menancapkan komitmen yang baik di atas kertas (undang-undang). Namun, dalam melaksanakan komitmen tersebut belum dapat dikatakan sempurna.
Masalah nasional dan regional
Perbudakan modern di laut tidak hanya terjadi di Indonesia. Tetapi negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hal ini diungkapkan oleh Ephraim Batungbacal, Koordinator Riset Regional Greenpeace Asia Tenggara. Menurutnya perbudakan modern di laut adalah kasus yang sangat penting bagi nelayan Asia Tenggara dan satu permasalahan adalah permasalahan lainnya. Semua aktor harus bekerja sama satu sama lain agar permasalahan ini berakhir.
Ephraim juga meminta agar setiap negara di Asia Tenggara melindungi nelayan migran mereka dengan meratifikasi konvensi ILO 188 dan meminta agar perusahaan penangkap ikan memastikan nelayan mendapatkan hak mereka sesuai kontrak.
Menanggapi hal ini, Afdillah menyerukan agar pemerintah Indonesia bertindak memainkan peran untuk mengatasi permasalahan ini. “Ini sangat mengusik kemanusiaan, hati nurani, dan harga diri bangsa Indonesia. Sudah saatnya pemerintah lebih tegas menyelamati wajah dan harga diri bangsa Indonesia” tegasnya.
Perbudakan modern di laut telah merenggut hak-hak para nelayan migran Indonesia. Ini adalah waktu yang tepat bagi pemerintah Indonesia untuk berperan lebih tegas melindungi para ABK Indonesia. Bergabunglah dengan #endmodernslaveryatsea untuk menekan pemerintah mengatasi masalah perbudakan di laut.
Laporan lengkap bisa dilihat di sini.
Ditulis oleh M Irsyaad Fadhlurrahman, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang sedang melakukan magang di Greenpeace Indonesia.
Tak jarang ABK Indonesia menjadi korban perbudakan modern di kapal perikanan asing jarak jauh. Bagaimana pelindungan Pemerintah?
Ikut Beraksi