Saat pertama membaca berita tentang kasus tambang di Pulau Sangihe saya hampir tidak percaya, bagaimana mungkin pemerintah memberi izin perusahaan untuk bisa menambang lebih dari setengah pulau kecil berpenghuni. Tentu keputusan yang akan memicu konflik dan kerusakan lingkungan. Nafsu serakah untuk mengeruk emas, membuat semua pertimbangan diterabas. Ini adalah salah satu contoh keputusan yang ‘sembrono’. Keputusan yang melahirkan benih perlawanan masyarakat Pulau Sangihe. 

Pulau Sangihe adalah pulau kecil di utara Sulawesi. Bowone adalah sebuah desa yang terletak di bagian tenggara Pulau Sangihe, di Kecamatan Tabukan Selatan Tengah. Walau berukuran kecil, pulau ini kaya akan anugrah hayati dan mereka hidup dalam harmoni. Masyarakat hidup berdampingan dengan alam, hidup cukup dan tidak akan merasa kekurangan. Apa-apa yang mereka butuhkan, air dan tanah di Pulau Sangihe akan senantiasa memberi. 

Tambang datang damai pun hilang

Terhitung per bulan Januari 2021, keadaan Desa Bowone berubah menjadi nestapa. Suasana tenang nan damai tak lagi menghiasi tiap-tiap sudut Desa Bowone. Masyarakat Bowone terancam kehilangan tanah dan mata pencaharian mereka. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan Desa Bowone dan bagian utara Desa Binebas sebagai lahan pertambangan emas untuk PT Tambang Mas Sangihe (TMS).

Kegiatan pertambangan ini akan sangat merusak lingkungan di Pulau Sangihe. Pulau yang kecil akan lebih rentan bencana alam, selain itu material buangan limbah tambang akan mengendap di bawah laut dan mempengaruhi kesehatan makhluk hidup di dalamnya. Pada akhirnya, hal ini akan berimbas pada kesehatan dan ekonomi masyarakat, serta mungkin saja akan terjadi krisis pangan di Desa Bawone. PT TMS memberi segudang janji kepada masyarakat terkait kesejahteraan. Namun percayalah, hingga kini tidak ada masyarakat yang sejahtera ketika lingkungannya dijadikan area tambang. Sebagai contoh, salah satunya terjadi di Wadas. Alih-alih masyarakat merasa sejahtera, justru sebaliknya—mereka merasa tertindas dan terintimidasi, bahkan hingga memutuskan untuk mengungsi ke tempat lain demi menghindari intimidasi dan paksaan aparat. Ruang hidup mereka akan musnah, begitu juga dengan mata pencaharian mereka. Lagi-lagi, tambang hanya menguntungkan segelintir pihak saja, terutama elit pemerintah dan korporasi. Masyarakat? Selalu menjadi korban dan dirugikan.

Saat masyarakat bangkit melawan

Masyarakat Sangihe menolak dengan tegas adanya kegiatan pertambangan. Mereka membentuk koalisi Save Sangihe Island dan konsisten menggelar aksi damai, serta menggugat izin kontrak karya PT TMS lewat Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN). Namun sayang, gugatan mereka berakhir ditolak. Artinya, eksplorasi tambang PT TMS di Pulau Sangihe akan terus berlanjut. Tak sampai situ, mereka juga melayangkan gugatan terkait pencabutan izin lingkungan lewat PTUN Manado. Nasib berkata baik, gugatan mereka dikabulkan oleh PTUN Manado. Maka, PT TMS harus menghentikan segala aktivitasnya di Pulau Sangihe. 

The indigenous people of Sangihe Island and activists hold action against gold mining PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) in front of The Ministry of Energy and Mineral Resources on Thursday, 7 July 2022. They protest against the gold mining PT. TMS as it threatens forests and endemic birds that are almost extinct on Sangihe island.

Harapan-harapan terus membakar semangat mereka untuk menegakan keadilan atas ruang hidup mereka. Besar harapan mereka bagi kehidupan anak, cucu, dan makhluk hidup lainnya di masa depan. Tak akan ada lagi kehidupan, bila tak ada yang tersisa. Mereka percaya, pembangunan ekonomi dengan merusak alam sama dengan mewariskan bencana untuk generasi masa depan.

Perjuangan segenap masyarakat Pulau Sangihe adalah inspirasi, bahwa harapan mampu melahirkan kekuatan. Kamu juga bisa menonton cerita lengkap bagaimana masyarakat Sangihe melawan tambang melalui video dokumenter “Sangihe Melawan” di kanal Youtube!

Sherina Redjo adalah Content Writer di Greenpeace Indonesia