Beberapa minggu setelah masyarakat dunia bergulat dengan Covid-19, muncul polemik seputar sampah medis, termasuk pula sampah masker sekali pakai. Salah satu berita yang cukup viral adalah penemuan sampah masker di sekitar pantai di Hong Kong. Bila teronggok begitu saja di tempat publik, berarti masker-masker sekali pakai itu tidak masuk ke dalam sistem pengolahan sampah setempat. Tentu sampah ini mengancam kehidupan pesisir termasuk ekosistem laut.

Perlu diketahui, masker umumnya terbuat dari polipropilena dan sifatnya sekali pakai yang tidak bisa didaur ulang. Padahal tingkat konsumsi masker belakangan terbilang tinggi, karena penggunaannya menjadi bagian penting dari tindakan proteksi terhadap virus korona. Hingga kelangkaan pasokan pun terjadi.

Di masa pandemi ini, konsumsi plastik sekali pakai terlihat cukup banyak menyusul penggunaannya dalam perlengkapan Alat Pelindung Diri (APD), maupun perlengkapan medis lainnya. Karena langkanya APD yang layak, tak jarang ditemui penggunaan kantong plastik biasa hingga jas hujan, untuk perlengkapan pekerja medis. Ketika plastik sekali pakai digunakan, maka pemerintah harus benar-benar memerhatikan pengolahan plastik sesudah pemakaian. Jangan sampai plastik sekali pakai itu dibuang begitu saja layaknya sampah biasa. Selain itu, seiring dengan adanya himbauan agar warga bekerja di rumah, muncul pula kecenderungan berbelanja dengan cara daring di mana pengemasan masih didominasi oleh plastik sekali pakai.

Lantas, apakah kampanye-kampanye untuk mereduksi ketergantungan terhadap plastik sekali pakai demi mengatasi krisis sampah plastik seperti #PantangPlastik, #BreakFreeFromPlastic mengalami kemunduran? Rasanya tidak, hanya saja tantangannya memang cukup besar di tengah pandemi ini. Masih banyak masyarakat yang tetap bertahan dengan gaya hidup zero waste-nya. Toko curah (bulk store) pun tetap berusaha melayani pelanggannya. Kini pembuatan masker yang bisa dipakai ulang (reusable) kian banyak. Pemerintah Singapura, misalnya, membagikan masker reusable kepada penduduknya. Masker kain disebut memiliki kapabilitas menahan virus hingga 70%. Saat ini sudah semakin banyak beredar cara pembuatan masker multiguna reusable yang dapat dilakukan oleh masyarakat.

Usaha masyarakat untuk tetap peduli terhadap alam, sembari menjaga kesehatannya harus diacungi jempol. Mereka berusaha konsisten mengurangi ketergantungan terhadap plastik sekali pakai. Sejumlah pelaku industri yang sudah menyatakan komitmen untuk mengatasi sampah plastik sekali pakai, pun masih memegang janjinya. Ketika berbelanja di sebuah jaringan supermaket, pegawai kasir pun tetap menanyakan, apakah membawa kantong belanja sendiri. Bila tidak, tersedia kardus, atau tetap dengan kantong plastik tapi berbayar. 

Gelora #PantangPlastik harus dijaga dari tangan-tangan nakal. Siapa itu? Mereka adalah pelaku industri yang memancing di air keruh. Berusaha menggaet laba sebanyak-banyaknya di saat pandemi. Caranya, industri membandingkan data dengan cara yang tidak tepat, dan menerjemahkannya dengan keliru. Mereka berusaha menyebarkan informasi lewat data riset sekitar satu dekade lalu, yang mengatakan tas belanja yang bisa dipakai berkali-kali (reusable) tidak higienis, bisa membawa sejumlah virus dan bakteri. Sementara plastik diagung-agungkan sebagai perlengkapan yang jauh lebih higienis. Padahal menurut data The New England Journal of Medicine, virus korona bisa bertahan di permukaan plastik selama 2-3 hari. Mereka berusaha menyesatkan publik dengan memanfaatkan situasi pandemi demi mencegah berlakunya kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-plastik. 

Upaya industri mengembangkan bisnisnya dengan cara tidak sehat tentu tidak bisa dibiarkan. Tidak ada jaminan plastik sekali pakai tidak menularkan virus. Lembaga internasional dan pemerintah telah menyatakan sejumlah pedoman bagi masyarakat untuk bisa terhindar dari virus korona, baik itu menjaga jarak hingga mencuci tangan secara intens. Kita tetap bisa mengedepankan reuse dan refill dengan memerhatikan aspek kebersihan dan higienis.

Pemerintah pun berperan besar dalam mengelola sampah medis selama pandemi ini, agar sampah tidak bocor ke lingkungan dan akhirnya menambah pelik krisis sampah plastik. Pengelolaan sampah bukan semata menjadi tanggung jawab masyarakat. Undang-undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah jelas menyebutkan produsen berperan atas sampah kemasannya yang tidak bisa terurai oleh lingkungan. Tertera jelas di pasal 15. Oleh sebab itu, produsen harus berhenti mengacungkan telunjuknya ke muka konsumen seolah-olah sebagai pihak yang berperan besar mengatasi krisis sampah plastik melalui proses pemilahan. 

Sekadar mengingatkan, tingkat daur ulang sampah kita, juga global, sangatlah rendah. Bahkan Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia dan Ikatan Pemulung Indonesia pernah mengeluarkan pernyataan, kalau kemasan tipe multilayer, yang sekarang produksinya terbilang masif, sangat sulit didaur ulang dan belum ada produsen yang membuat sistem daur ulang untuk kemasan ini. Jadi, bagi industri, janganlah memanfaatkan situasi pandemi demi pundi-pundimu! Biarkan masyarakat melakukan apa yang terbaik bagi kesehatan dirinya juga alam. Dan semoga pandemi ini cepat berakhir.