Oleh: Nicodemus Wamafma, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia
Siang itu, 4 Juli 2022, di pinggiran Kali Biru, Kampung Berap, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua, saya memberitahu ibu bahwa sebagian wilayah kampung sudah masuk dalam konsesi PT PNM. Konsesi perusahaan perkebunan sawit itu menduduki hutan, tempat ibu saya biasa menanam ubi dan sayuran.
Ibu lantas menatap saya dalam-dalam. Ia bersuara keras, “Siapa yang kasih lepas tanah untuk perusahaan? Kenapa pemerintah tidak larang? Bupati tau to ini kita pu hidup, ini anak cucu pu masa depan.”
Mama, begitu saya biasa memanggilnya, kini menjadi bagian dari masyarakat adat Grime yang terus mempertanyakan mengapa pemerintah kabupaten bisa mengeluarkan izin lokasi dan rekomendasi AMDAL atas tanah seluas 30.900 hektar kepada perusahaan sawit. Padahal pemerintah juga sering bicara tentang kebangkitan dan hak-hak masyarakat adat di kabupaten Jayapura.
Tahun 2018 tepatnya tanggal 18 Februari di kantor kelurahan Tabri distrik Nimboran masyarakat adat Namblong, Kemtuik dan Klisi diwakili oleh Ketua Dewan Adat Suku (DAS) Namblong Matius Sawa telah menyerahkan Profil dan Peta Partisipatif Wilayah Adatnya masing-masing dalam sebuah Noken kepada Bupati Jayapura bersamaan dengan permohonan untuk verifikasi menuju pengakuan hak masyarakat adat atas wilayah adatnya. Namun hingga saat ini wilayah adat Namblong, Kemtuik dan Klisi yang telah selesai dipetakan lengkap dengan profil data sosial dan surat permohonan kepada Bupati belum juga diverifikasi untuk mendapat pengakuan penetapan hak melalui Surat Keputusan Bupati sebagaimana disyaratkan oleh Permendagri No.52 Tahun 2014.
Di Teminabuan kabupaten Sorong Selatan, Selasa 9 Agustus 2022 lebih dari 200 an perwakilan masyarakat adat perempuan dan laki-laki yang mewakili suku Tehit, suku Maybrat, suku Imeko mengambil bagian dalam perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Se-Dunia. Mereka menari dan secara bergantian berorasi di Taman Trinati menuntut Bupati untuk segera menindaklanjuti Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat yang telah ditetapkan DPRD Sorong Selatan pada 30 Juli 2022. Mereka juga meminta Bupati segera membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat untuk verifikasi, validasi dan menetapkan pengakuan hak masyarakat hukum adat, agar investasi-investasi rakus lahan dapat diusir dari wilayah masyarakat adat.
Cerita Masyarakat Hukum Adat Namblong, Kemtuik dan Klisi yang masih menantikan keluarnya SK Penetapan Pengakuan Hak oleh Bupati dan dicabutnya Izin Lokasi PT. PNM yang telah dengan sengaja merampas tanah dan hutan adat dalam wilayah adatnya, dan cerita masyarakat adat Sorong Selatan yang terus bersuara menolak kehadiran investasi perkebunan sawit sambil meminta keberpihakan Bupati untuk mendorong proses pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat adalah bukti nyata sikap pemerintah yang ambigu atas keberadaan dan hak-hak masyarakat adat di Tanah Papua.
Cerita perjuangan atas hak masyarakat adat di Tanah Papua, adalah 2 (dua) contoh dari banyak kasus yang dialami komunitas masyarakat adat di Indonesia, dimana ruang hidup dan kepastian hak adatnya masih belum jelas kendati setelah 77 tahun Indonesia merdeka. Situasi ini berbanding terbalik dengan seremonial peringatan kemerdekaan RI, dimana Presiden dan jajarannya selalu mengenakan pakaian adat tradisional dari berbagai daerah di Indonesia. Namun sayangnya, itu terkesan hanya simbolisme belaka tanpa didasari komitmen yang kuat dan jelas.
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menyatakan bahwa sampai 17 Agustus 2021 di provinsi Papua baru 1.856.724 ha yang telah dipetakan, sedangkan di Papua Barat wilayah adat yang telah dipetakan seluas 719.959. Potensi Hutan Adat di Papua 1.419.124 ha namun penetapan belum ada, di Papua Barat 530.864 juga belum ada penetapan. Berikut infografis BRWA :
Sulitnya pengakuan hak masyarakat adat di Papua berbanding terbalik dengan kebijakan pemerintah terkait bertambahnya daerah otonom baru yang lebih dikenal dengan pemekaran wilayah. Pemekaran wilayah kabupaten dan provinsi di Tanah Papua yang walaupun sering mendapat penolakan dari masyarakat adat serta harus didukung dengan studi kelayakan yang baik, justru lebih mudah pengesahannya. Padahal eksistensi masyarakat adat itu nyata dan dapat dibuktikan. Situasi ini secara substansi berlawanan dengan semangat otonomi khusus di Papua, yaitu semangat perlindungan dan pemberdayaan (afirmasi) atas hak-hak masyarakat adat atau yang disebut orang asli Papua dalam terminologi Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Sesuai perintah UU Otsus Papua No. 21 Tahun 2001 Bab XI Pasal 43 tentang Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat, Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Hak Masyarakat Adat itu meliputi Hak Ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan masyarakat hukum adat namun sampai saat ini, belum satupun penetapan terhadap wilayah adat maupun hutan adat di Papua. Bagi orang Papua, hutan adalah “mama” yang memberi kehidupan dan menjadi tempat hidup masyarakat adat. Hutan dan tanah, tak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat adat di Papua. Di dalam hutan tersimpan semua bahan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk keperluan pengobatan tradisional saat mereka sakit, sehingga konsep kehidupan selalu menjadi semangat dan jati diri masyarakat adat Papua ketika kita bicara tentang hutan dan manusia Papua.
Sayangnya, pemerintah tak melihat demikian. Justru, pemekaran provinsi atau daerah otonomi baru lebih mudah dilakukan. Dengan dalih memperbaiki tata kelola dan substansi Otsus Papua, pasal tentang pemekaran ditambahkan dengan kewenangan Pemerintah Pusat untuk mendorong pemekaran wilayah dengan alasan pembangunan kesejahteraan. Alasan yang kemudian digunakan pemerintah untuk mendorong lahirnya pemekaran wilayah. Sekalipun bukan kehendak masyarakat hukum adat di Papua dan mendapat gelombang penolakan yang terus bergulir sejak awal dicanangkan, DPR bersama Presiden tetap ngotot mengundangkan tiga provinsi baru.
Kehadiran daerah otonomi baru di Papua hari ini justru menjadi ancaman serius bagi eksistensi wilayah adat dan keberadaan (hak) masyarakat adat. Pembangunan infrastruktur kota atau kabupaten baru mengundang investasi yang akan menggerus masyarakat hukum adat serta mengancam keberlanjutan wilayah adat yang di dalamnya terdapat hutan adat dan megabiodiversitas, hingga pesisir pantai dan perairan di sekeliling pulau Papua. Greenpeace mencatat bahwa selama kurun waktu 2011-2019 Papua telah kehilangan lebih dari 435.233ha hutan yang dilepaskan untuk investasi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Hingga saat ini sudah lebih dari 10,5 juta ha lahan dialihfungsikan dengan izin sawit, hutan tanaman industri dan HPH. Dengan kehadiran 3 (tiga) provinsi baru di Papua, Greenpeace memperkirakan lebih dari 4 juta ha hutan akan mengalami deforestasi serius akibat pembangunan infrastruktur penunjang provinsi baru tersebut serta hadirnya investasi berbasis lahan.
Indonesia telah merdeka 77 tahun namun masyarakat adat khususnya di Tanah Papua masih harus terus berjuang menyuarakan eksistensi dan hak-haknya atas tanah, hutan, serta perairan dalam wilayah adatnya. Pengakuan hak oleh Pemerintah (pusat, provinsi dan kabupaten) sangatlah penting agar menjadi landasan hukum untuk secara mandiri masyarakat adat Papua dapat mengatur, merencanakan dan menata wilayah adatnya, sambil melindungi identitas budaya dan merencanakan masa depannya. Pengakuan dan perlindungan Hak Masyarakat Adat di sisi lain akan menjadi pagar yang menghalangi korporasi rakus lahan untuk datang dan merampas tanah dan hutan milik masyarakat adat di Tanah Papua.