Pagi itu tidak terlalu dingin, meski Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah memiliki ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Dua perempuan terlihat sedang memetik ceri kopi jenis arabika. Dengan cekatan jemari mereka memilih buah-buah hanya yang berwarna merah.
Seharusnya di masa panen, seperti pada Selasa (3/10/2023) lalu, wajah mereka berseri-seri. Akan tetapi, raut muka keduanya terlihat datar saja. Mereka lelah karena sudah cukup lama menunggu masa panen kopi yang normalnya mulai antara Juni atau Juli lalu. Pada kenyataannya panen baru dapat dimulai September lalu atau mundur hingga 3-4 bulan.
“Pengaruh cuaca benar-benar nyata. Misalnya, ketika hujan terus, maka dampaknya adalah gugurnya bunga sehingga tidak jadi buah. Di sini meski musim kemarau, kadang juga masih ada hujan. Akibatnya, ada hama yang muncul sehingga hasil panenan kopi tak seperti yang diharapkan,” ungkap Suciati (27) warga Desa Ambal, Kecamatan Karangkobar.
Suciati adalah perempuan yang membantu Yulianti sebagai pemilik tanaman kopi, anggota Lady Farmer Coffee Karangkobar Banjarnegara. Teh Lia—sapaan akrab Yulianti—sangat merasakan bagaimana dampak cuaca yang berubah-ubah. “Lihat saja ini, tanaman kopi terkena karat daun,” katanya seraya menunjukkan bercak-bercak putih pada daun kopi jenis arabika.
Karat daun (Hemileia vastatrix) adalah salah satu penyakit yang muncul di wilayah perkebunan kopi di Karangkobar. Jemari teh Yuli meraih ceri kopi yang tidak lagi berwarna merah, melainkan hitam. “Saya ingin menunjukkan, di dalam ceri yang berwarna hitam ini, biji kopi di dalamnya juga sebagian telah membusuk. Ini yang disebut dengan busuk buah kopi,” ungkap teh Lia.
Jika diibaratkan gerakan roda, kini nasib budi daya kopi milik teh Lia tengah berada di bawah. Tahun 2020-2021 ia pernah berjaya. Ia memulai tanam kopi arabika pada 2019 dengan semangat membara dan begitu gembira ketika awal panen pada 2020. Hasilnya begitu bagus, termasuk saat memasuki tahun 2021.
“Tahun-tahun itu kami begitu ceria saat memanen ceri kopi. Biasanya saya memanen setiap dua minggu sekali. Waktu itu saya bisa mendapatkan hasil antara 50 kilogram (kg) hingga 60 kg. Panenan berasal dari 1.000 pohon kopi yang saya tanam,” kenangnya.
Senyumnya berubah kecut ketika menceritakan hasil panen tahun 2022 dan tahun sekarang. Bagaimana tidak, hasil panen hanya tersisa kisaran 20 kg saja setiap dua minggu.
“Pendapatan juga menurun cukup drastis. Sekarang pendapatan setiap bulan maksimal hanya Rp500 ribu, padahal dua tahun sebelumnya bisa mencapai Rp1 juta sehingga cukup membantu pendapatan keluarga,” katanya.
Teh Lia bersama suaminya menggantungkan pendapatan pada pertanian. Tanaman kopi arabika sebetulnya hanya sebagai pelengkap karena budi daya utamanya adalah jeruk lemon.
“Tanaman kopi sangat terdampak adanya cuaca yang terus berubah. Kualitas panen saat sekarang jauh lebih buruk dibandingkan dua tahun sebelumnya. Tahun 2022, misalnya, hujan terus turun sepanjang tahun yang kemudian berdampak pada bunga yang rontok, apalagi juga ada angin. Tak hanya itu, muncul serangan hama dan penyakit pada tanaman kopi,” jelasnya.
Teh Lia yang kini memiliki dua anak akhirnya hanya menggantungkan pendapatan pada tanaman jeruk lemon. “Meski hasil panen kopi tidak bisa diandalkan lagi, tetapi saya masih memperoleh hasil dari jeruk lemon. Di rumah juga kami memelihara kambing,” ujarnya.
Dengan jujur dia sempat berpikir untuk menebang pohon kopi yang nyata-nyata terpengaruh perubahan cuaca. Namun, ia masih memandang kelompoknya, Lady Farmer Coffee. “Sudahlah, tidak jadi menebang. Hanya nanti ada penjarangan supaya tanaman jeruk lemon tidak terganggu tanaman kopi,” ia melanjutkan.
Hulu sampai hilir mulai terpengaruh
Kenyataan pahit yang dialami teh Lia juga dirasakan betul oleh Koordinator Lady Farmer Coffee Karangkobar Farida Dwi Ermawati. Wiwik—demikian panggilan akrabnya—memulai bercerita tentang tahun 2015, ketika dia bersama sepupunya mulai mengembangkan tanaman kopi arabika di Banjarnegara, yang cocok ditanam di ketinggian, seperti Karangkobar.
Sambil belajar, Wiwik juga mencari para perempuan di Karangkobar untuk diajak bersama-sama menanam kopi, dan kemudian mendirikan kelompok petani perempuan kopi dengan nama Lady Farmer Coffee. “Mengapa kami mendirikan kelompok? Ya, karena saya kasihan para perempuan awalnya hanya sebagai tukang petik kopi saja. Mereka hanya dibayar Rp1.000 setiap memetik 1 kg ceri kopi. Dari sinilah kami mengajak mereka secara bersama-sama untuk bisa lebih berdaya,” katanya.
Pada awal budi daya Wiwik memiliki 2.000 pohon kopi yang mulai dipelihara secara serius. Tahun 2019, misalnya, menjadi masa di mana petani kopi perempuan sudah cukup belajar bagaimana budi daya secara baik. “Memang capek, ya, karena kami belajar secara otodidak. Meski demikian, rasa lelahnya terobati karena hasilnya bagus. Jadi, kondisi panen yang bagus itu terutama tahun 2020 dan 2021. Musimnya masih sesuai. Ada musim penghujan dan kemarau secara normal,” jelas Wiwik.
Ada faktor lain yang menunjang hasil panen kopi bagus, yakni pemanfaatan pupuk kandang dan bukan pupuk pabrikan, apalagi dia juga tidak menggunakan pestisida. Hasilnya benar-benar sesuai harapan. “Bayangkan saja, satu pohon kopi arabika bisa menghasilkan 15 hingga 20 kg. Jadi, waktu itu, pada saat saya memiliki 2 ribu pohon kopi, dalam setahun mampu menghasilkan 11 ton,” katanya.
Karena begitu banyak hasil kopinya, rumah itu sampai penuh dengan kopi arabika. Tentu saja petani kopi memasang harapan tinggi di tahun berikutnya. Namun, fakta berkata lain. Tahun 2021 itu cuaca tidak dapat diprediksi lagi. Bahkan, sepanjang tahun ada hujan. “Tentu saja perubahan cuaca dengan ditandai hujan yang hampir turun sepanjang tahun memengaruhi hasil panenan kopi. Saya masih ingat. Tahun 2021 itu di Karangkobar sampai bulan Juli ada hujan hampir tiap hari, bahkan matahari hanya muncul pada Agustus,” ungkap Wiwik.
Menurutnya, adanya hujan sepanjang tahun mengubah siklus bunga dan buah pada tanaman kopi. Dalam kondisi normal tanaman kopi akan mulai berbunga pada akhir Februari atau awal Maret, saat hujan sudah mulai reda menuju ke kemarau. “Adanya hujan sepanjang tahun berdampak signifikan pada proses pembuahan kopi,” ujarnya.
Wiwik memaparkan penurunan drastis hasil panen kopi akibat perubahan iklim. Sebelum terjadi cuaca ekstrem, pada tahun 2020, hasil panen mencapai 15-20 kg setiap pohonnya. Pada saat itu hasil panen kopi mencapai 11 ton dalam satu tahun.
Pada saat musim panen bagus, harga ceri kopi masih stabil pada kisaran Rp8.500 hingga Rp9.000. Karena hasil panen banyak, ia bisa mendapat hampir Rp100 juta.
Namun, memasuki tahun 2021 ketika terjadi perubahan cuaca, satu pohon hanya mampu menghasilkan 0,5-1 kg ceri kopi. Dalam setahun hasil produksi hanya dapat mencapai 1,2 ton saja. “Jadi, sebelum dan sesudah perubahan cuaca hasilnya sangat berbeda. Sekarang ketika iklimnya berubah, maka terjadi penurunan produksi hingga 90%,” katanya.
Dengan berkurangnya produksi kopi, harga di pasaran memang mengalami kenaikan. “Namun, pendapatan kami tidak seperti ketika panenan bagus. Meski sekarang harga Rp14 ribu hingga Rp15 ribu per kg, namun hasilnya hanya 1,2 ton saja. Kalau dihitung-hitung, maksimal hanya memperoleh pendapatan Rp18 juta saja. Sangat jauh merosot dibandingkan dengan sebelum adanya dampak perubahan iklim,” jelasnya.
Perubahan iklim picu hama dan penyakit baru
Cerita para petani Lady Farmer Coffee mengenai serangan hama dan penyakit akibat perubahan iklim dibenarkan oleh ahli hama dan penyakit tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Prof. Loekas Soesanto menyatakan bahwa perubahan iklim yang ditandai dengan berubahnya cuaca berpengaruh terhadap makhluk hidup.
“Musim kemarau yang diselingi hujan terus dapat memicu munculnya hama dan penyakit karena kelembapannya tinggi. Bahkan, dengan adanya perubahan iklim, ada perpindahan hama dan penyakit. Yang dulunya di satu lingkungan tertentu tidak ada, kini menjadi ada. Contohnya penyakit kuning di dalam cabai, yang sebelumnya hanya ditemukan di dataran rendah atau pinggiran pantai, kini sudah masuk ke wilayah daratan tinggi. Ini betul saya menemukannya,” jelas Prof. Loekas.
Perubahan iklim juga mengubah ekosistem dan ekologi. Perubahan suhu atau kelembapan, misalnya, tentu akan berpengaruh terhadap ekologi. Ia memberi contoh, “Perubahan hama dan penyakit yang ada belum dapat ditanggulangi dengan predator alami, karena predator pun belum siap karena adanya perubahan iklim tersebut.”
Pemrosesan lebih lama
Di rumah milik Lady Farmer Coffee terlihat dua perempuan tengah memilih biji kopi hijau yang siap untuk dijual. Biji kopi hijau adalah biji kopi yang telah diproses, baik secara natural, cuci bersih (fullwash), maupun madu (honey). “Pemrosesan ceri kopi menjadi biji kopi hijau sangat bergantung pada cuaca,” ungkap Pujiati (27) yang dibenarkan oleh Fita (24). Karena pemrosesannya bergantung pada sinar matahari, maka pada saat terjadi perubahan cuaca bakal sangat berpengaruh.
“Kami sangat merasakan lamanya memroses dari buah merah menjadi biji kopi hijau. Jika cuaca hujan, maka proses cuci bersih yang biasanya selesai pada sepekan hingga 10 hari, bisa mundur hingga tiga pekan. Sedangkan untuk proses madu, dalam kondisi panas membutuhkan waktu hingga sebulan. Akan tetapi, pada saat hujan terus bisa mencapai dua bulan karena paling hanya kena angin saja, tidak ada sinar matahari. Yang perlu diperhatikan juga adalah munculnya jamur pada biji kopi yang tengah diproses. Pemicunya adalah hujan terus sehingga lembap. Inilah yang berpotensi memicu munculnya jamur,” katanya.
Perubahan cuaca sangat membingungkan para petani kopi. Pasalnya, jika kondisi hujan, mereka harus benar-benar memperhatikan lokasi penyimpangan. Kalau tidak, maka kopi bisa rusak semua karena adanya jamur.
Sebagian meninggalkan, sebagian bertahan
Teh Lia mengaku terkejut pada saat bertandang ke temannya. Dulu temannya sama seperti dirinya membudidayakan kopi. “Namun, begitu sampai di sana saya kaget. Pohon kopinya sudah tidak ada. Sekarang diganti dengan tanaman kubis atau kol,” ungkapnya.
Teh Lia menceritakan bahwa temannya memilih meninggalkan tanaman kopi karena tidak lagi bisa mendatangkan keuntungan. “Kalau kata teman saya itu, produksi kopinya merosot sehingga dia memilih untuk berganti komoditas yang lebih menghasilkan,” katanya.
Teh Lia pun mengaku sempat akan meninggalkan tanaman kopi. Alasannya sama. Dalam setahun terakhir hasil panen kopi terpengaruh cuaca.
“Sempat saya bersama suami akan menebang kopi. Biarlah semuanya diganti dengan jeruk lemon. Akan tetapi, karena melihat Lady Farmer Coffee, saya memilih untuk bertahan. Ya, paling hanya dikurangi saja. Tanaman yang lebih banyak jeruk lemon,” ujarnya.
Cerita nestapa petani kopi di Karangkobar juga dirasakan oleh Rendi, sebagaimana dituturkan oleh Wiwik, Koordinator Lady Farmer Coffee. Wiwik bercerita bahwa sebelum dirinya budi daya, temannya tersebut lebih dahulu memelihara kopi jenis arabika.
“Pada awalnya sangat bagus panenannya, bahkan dia juga mempunyai kafe. Akan tetapi, dengan adanya cuaca ekstrem dengan ditandai hujan terus, bunga-bunganya rontok terus. Ceri kopi tidak terlalu banyak. Begitu terus, sampai dia menyerah,” ungkap Wiwik.
Sebanyak 300 tanaman kopi arabika akhirnya ditebang untuk digantikan dengan cabai yang harganya sedang tinggi-tingginya. Namun demikian, kondisi tanaman cabainya mengalami nasib yang sama seperti kopi.
“Akhirnya, teman saya itu berangkat merantau ke Kalimantan sampai sekarang. Di sana dia bekerja di sebuah perusahaan yang hasilnya lebih pasti. Dia merantau karena kebingungan dengan budi daya yang mengalami kegagalan akibat perubahan iklim,” katanya.
Wiwik mengaku, beberapa waktu lalu temannya itu menawari pekerjaan untuk dirinya. Wiwik sempat berpikir ulang apakah masih akan bertahan sebagai petani kopi atau menyusul bekerja di Kalimantan. “Jujur, saya sempat berpikir, iya apa ya, bekerja ke Kalimantan.”
Akhirnya Wiwik memutuskan untuk tetap bertahan. Konsekuensinya dia harus berhadapan dengan perubahan iklim yang kini terjadi, meski Wiwik tidak mengerti di manakah ujung deritanya sebagai petani kopi.
Berkolaborasi dengan iklimku.org
Teks: Lilik Darmawan
Foto: M Reza Gemi Omandi
Penyunting Teks: Kurniawan Adi Saputro