Krisis iklim telah memperparah resiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia, terutama di lahan gambut yang rusak. Walau pemerintah mengklaim adanya keberhasilan dalam menekan angka karhutla, berbagai laporan menunjukkan bahwa masalah ini masih jauh dari selesai. Sedangkan kebakaran terus menerus memberikan dampak serius pada ekosistem serta kehidupan masyarakat.

 Laporan Greenpeace (2020) menyoroti bahwa upaya pemerintah dalam melindungi hutan dan lahan gambut gagal total. Sekitar 4,4 juta hektar lahan terbakar antara tahun 2015 dan 2019, yang setara dengan delapan kali luas Pulau Bali. Kebakaran ini disebabkan oleh peningkatan suhu global, cuaca ekstrem, serta musim kering yang lebih lama, menciptakan kondisi ideal bagi kebakaran yang semakin luas dan intens.

Meskipun demikian, pada tahun 2023, pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya, mengklaim berhasil menekan angka karhutla. Di tengah fenomena El Nino yang kuat, pemerintah menyatakan bahwa luas kebakaran menurun drastis menjadi 1,16 juta hektar, setara dengan 416 kali luas Gelora Bung Karno. Termasuk di dalamnya klaim bahwa kebakaran lahan gambut berkurang secara signifikan, hanya mencapai 182.789 hektar pada tahun 2023, jauh lebih rendah dari angka kebakaran pada tahun 2019 yang mana mencapai sampai 1,65 juta hektar. Meskipun kebakaran lahan gambut tampak sedikit tapi kebakarannya berlangsung lama dan asap yang ditimbulkan menjadi bencana. Selain itu, Laporan Kinerja Direktorat PKHL tahun 2023 lalu mencatat penurunan emisi karbon akibat kebakaran hutan dan lahan, dengan emisi pada 2023 sebesar 183 juta ton CO2e, jauh lebih rendah dari tahun 2019 yang mencapai 624 juta ton CO2e.

Namun, klaim ini menimbulkan berbagai pertanyaan. Salah satu kekhawatiran besar adalah bahwa data pemerintah seringkali bersifat fluktuatif dan tidak memberikan gambaran yang sepenuhnya akurat. Misalnya, data luas kebakaran yang dilaporkan pada tahun 2023 tampak lebih kecil hanya karena dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, seperti 2019, yang memang mengalami kebakaran besar. Seharusnya pemerintah lebih transparan dalam menyajikan data yang lebih rinci dan dapat diakses oleh publik, terutama untuk mendukung klaim keberhasilan mereka dalam menekan karhutla.

Selain itu, laporan terbaru dari Greenpeace Indonesia (2023) menemukan bahwa luas indikatif karhutla pada tahun 2023 sebenarnya mencapai 2,13 juta hektar, hampir dua kali lipat dari angka yang dilaporkan pemerintah. Analisis ini menunjukkan bahwa sekitar 1,3 juta hektar dari area yang terbakar pada 2023 merupakan lahan yang sudah terbakar sebelumnya antara tahun 2015 hingga 2022. Sementara sisanya, sekitar 830 ribu hektar, merupakan kejadian baru. Kebakaran ini juga menyoroti bahwa kebijakan restorasi gambut yang dijalankan oleh pemerintah, terutama melalui inisiatif yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, masih belum mencapai target yang diharapkan.

Kondisi ini semakin parah dengan temuan bahwa sekitar 28% dari total area kebakaran pada tahun 2023, atau sekitar 599 ribu hektar, terjadi di 211 Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang masuk dalam prioritas restorasi. Kebakaran berulang di area-area ini menunjukkan bahwa kondisi lahan gambut semakin kritis, dan dalam beberapa kasus sudah mencapai tahap kronis. Selain kerusakan lingkungan, kebakaran di lahan gambut juga melepas emisi gas rumah kaca yang sangat besar. Pada tahun 2023 saja, diperkirakan kebakaran lahan gambut telah melepaskan sekitar 533 juta ton CO2e ke atmosfer, yang berkontribusi besar terhadap krisis iklim global. Kebakaran yang terus terjadi di KHG ini tidak hanya memperparah kerusakan ekosistem gambut, tetapi juga memberikan dampak serius pada kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitarnya maupun yang jauh tapi terdampak oleh bencana asap ini.

Menghitung Biaya Ekologis dan Sosial dari Karhutla

Karhutla tidak hanya berdampak pada rusaknya ekosistem, tetapi juga menimbulkan berbagai dampak lingkungan dan sosial yang signifikan. Secara ekologis, kebakaran yang melibatkan lahan gambut menyebabkan kerusakan yang jauh lebih parah dibandingkan kebakaran di hutan kering. Gambut, yang merupakan penyimpan karbon alami, bila terbakar akan melepaskan sejumlah besar emisi gas rumah kaca, sehingga mempercepat pemanasan global. Kebakaran di lahan gambut juga mengganggu habitat spesies endemik seperti orangutan.

Mengacu pada Tempo, Orangutan Borneo, saat ini berstatus kritis terancam punah (critically endangered). Mereka hidup di rawa gambut kaya karbon di Kalimantan, ekosistem yang sangat rentan terhadap kebakaran. Kebakaran hutan pada 2015, yang diperparah oleh El Nino, menyebabkan menyebabkan polusi udara terburuk dalam sejarah. Kebakaran gambut merusak ekosistem dengan api yang menjalar hingga ke bawah tanah dan menghasilkan gas beracun. Orangutan adalah spesies indikator, yang kesehatannya mencerminkan kondisi lingkungan. paparan asap secara terus-menerus ini berdampak buruk bagi kesehatan Orangutan tersebut.

A woman in Dumai wears a mask to protect herself from the air pollution caused by extensive forest fires.

Dari segi sosial, kebakaran hutan juga menghancurkan mata pencaharian masyarakat lokal, terutama yang bergantung pada hutan untuk Bertani, berburu, atau mengumpulkan hasil hutan non-kayu, yang secara nyata dialami oleh seorang petani dari Desa Lebung Itam, Sumatera Selatan, yang kehilangan rumah burung walet sebagai mata pencahariannya akibat karhutla pada Oktober 2023 lalu. Begitu pula yang dialami oleh warga Desa Bangsal di Sumsel, yang cemas akan kabut dari karhutla yang berdampak pada kesehatan dan perekonomian warga, yang juga mengancam akan warisan budayanya, yaitu kudapan khas peninggalan era Kesultanan Palembang; Gulo Puan, yang diproduksi dari susu kerbau rawa. Namun, asap dari karhutla ini mengganggu kesehatan, populasi dan produksi susu kerbau rawa ini.

Ironisnya, dari semua laporan yang sudah dilampirkan di atas, meski pemerintah mengklaim keberhasilan besar dalam menekan angka karhutla, kondisi di lapangan masih memperlihatkan hal sebaliknya. Masalah ini jauh lebih kompleks dan serius. Pemerintah tampaknya lebih mahir membuat data terlihat “bersih” yang seakan-akan terlihat seperti ‘prestasi’ ini daripada benar-benar mengatasi akar masalah.

Dalam hal ini, kebakaran yang terus-menerus justru mengindikasi bahwa kebijakan restorasi lahan gambut masih jauh dari harapan dan memerlukan langkah-langkah yang lebih konkret daripada sekedar angka yang dipoles. Jika tidak segera diatasi, kebakaran ini akan terus memperburuk krisis iklim dan menempatkan Indonesia di garis depan bencana lingkungan yang lebih luas. Upaya nyata untuk menyelamatkan hutan dan lahan gambut tak hanya membutuhkan kebijakan setengah hati, tetapi komitmen yang melibatkan semua pihak. Jangan sampai, ‘prestasi’ ini hanya menjadi kabut tebal yang menutupi masalah sebenarnya.