Laporan terbaru Greenpeace Asia Tenggara ‘Karhutla Dalam Lima Tahun Terakhir’ mengungkap kegagalan total pemerintah Indonesia dalam melindungi hutan dan lahan gambut dari pembakaran. Terungkap sekitar 4,4 juta hektar lahan atau setara 8 kali luas pulau Bali terbakar antara tahun 2015-2019. Laporan tersebut menyoroti sejumlah perusahaan perkebunan paling merusak yang beroperasi di negara ini, kemudian Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan demi kepentingan bisnis yang mengancam aturan  perlindungan lingkungan dan memperburuk risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Analisis berdasarkan data yang tersedia di publik Greenpeace Asia Tenggara menemukan:

  • Antara 2015 – 2019, 4,4 juta hektar lahan telah terbakar di Indonesia. Sekitar 789.600 hektar kawasan ini (18 persen diantaranya) telah berulang kali terbakar.
  • 1,3 juta hektar (30 persen) dari area kebakaran yang dipetakan antara 2015 – 2019 berada di konsesi kelapa sawit dan bubur kertas (pulp).
  • Pada tahun 2019, karhutla tahunan terburuk sejak 2015 yang membakar 1,6 juta hektar hutan dan lahan atau setara 27 kali luas wilayah DKI Jakarta.
  • 8 dari 10 perusahaan kelapa sawit dengan area terbakar terbesar di konsesi mereka dari 2015 hingga 2019, belum menerima sanksi apapun meskipun kebakaran terjadi dalam beberapa tahun terakhir di dalam konsesi mereka. [1]
  • Perusahaan perkebunan dan lahan Hak Guna Usaha terbakar untuk dicabut dan membayar potensi denda sekitar 5,7 triliun rupiah [2]
  • Petinggi asosiasi GAPKI dan APHI menjadi anggota satgas RUU Cipta Kerja, ini dapat menimbulkan konflik kepentingan. Sebab ditemukan total 12 perusahaan yang merupakan anggota GAPKI atau APHI dengan area terbakar terbesar di kategori perkebunannya masing-masing.

Untuk bacaan lebih lanjut, Anda dapat membaca dan mengunduh laporan selengkapnya dibawah ini:

Catatan:

[1] Data menunjukkan bahwa antara tahun 2015 dan 2019, sebanyak 258 sanksi administratif diterbitkan, dengan 51 tuntutan pidana dan 21 gugatan perdata. Angka-angka ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang tidak dapat diverifikasi oleh Greenpeace. Kementerian mengklaim telah mengajukan 19 tuntutan hukum perdata dan bahwa vonis bersalah telah dikembalikan dalam sembilan kasus ini, dengan perusahaan diperintahkan untuk membayar denda untuk kompensasi material dan restorasi – namun menurut Kementerian, hingga April 2020 hanya satu perusahaan yang mematuhinya. Kementerian sendiri telah mengajukan tuntutan pidana terhadap perusahaan hanya dalam lima kasus, menghasilkan empat vonis bersalah. Mempertimbangkan skala kebakaran, dengan kerusakan di tahun 2019 mulai mendekati kerusakan yang terlihat pada tahun 2015, tanggapan pemerintah tampaknya tidak menunjukkan penegakan hukum yang serius dan efektif.

[2] Perhitungan nominal potensi denda berdasarkan pasal 5 (ayat b) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN No 15 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelepasan atau Pembatalan HGU atau Hak Pakai pada Lahan yang Terbakar.

Lindungi Hutan

Kebakaran hutan tidak hanya mengancam kehidupan manusia, tapi juga mengancam satwa liar asli Indonesia yang terancam punah. Bantu kami wujudkan Nol Deforestasi.

Ikut Beraksi