Koalisi Demokrasi Energi yang terdiri dari Greenpeace Indonesia, Enter Nusantara dan 350 Indonesia, menggelar aksi teatrikal menggunakan replika cerobong PLTU dan panel surya, di Kantor Pusat Perusahaan Listrik Negara (PLN), Jakarta Selatan pada 14 November 2023.

Jakarta, 27 Mei 2025 — Setelah absen memperbaharui RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) selama tiga tahun sejak 2021, PT PLN dan Pemerintah akhirnya mengeluarkan RUPTL 2025-2034 kemarin. RUPTL sendiri merupakan dokumen perencanaan acuan bagi PT PLN dalam mengembangkan dan menyediakan tenaga listrik di Indonesia dalam jangka waktu 10 tahun ke depan. Namun di tengah urgensi krisis iklim dan transisi energi yang menjadi concern global, RUPTL 2025-2034 masih menunjukkan keberpihakan Pemerintah dan PT PLN terhadap bahan bakar fosil.

Dalam RUPTL yang disosialisasikan kemarin, masih terdapat rencana penambahan pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU Batu Bara) sebesar 6.3 Gigawatt dan pembangkit listrik tenaga gas fosil (PLTG) sebesar 10.3 Gigawatt. “Penambahan pembangkit listrik baru berbahan bakar fosil akan semakin mengunci pada kondisi coal lock-in dan fossil gas lock-in, baik secara infrastruktur maupun emisi gas rumah kaca (GRK) selama 25 hingga 30 tahun ke depan, bahkan lebih, sesuai dengan masa operasi dari kedua jenis pembangkit tersebut,” papar Adila Isfandiari, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia. 

Dukungan Pemerintah terhadap penambahan PLTU Batu Bara juga dapat dilihat dari  Permen ESDM 10 tahun 2025 tentang Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan. Padahal pemerintah tengah kesulitan dalam menjalankan rencana pensiun dini PLTU batu bara, di mana hingga saat ini baru rencana pensiun dini PLTU Cirebon 1 yang disepakati, dan masih banyak PLTU batu bara lainnya yang juga harus dipensiunkan untuk mencapai target iklim transisi energi.

Berdasarkan data historis, di saat bauran energi terbarukan hanya mencapai 15% pada tahun 2024, laju penambahan pembangkit energi terbarukan tercatat hanya mencapai 3.2 Gigawatt dari 2018 hingga 2023. Jumlah ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan penambahan pembangkit listrik energi fosil yang mencapai 18.4 Gigawatt pada periode yang sama, atau hampir enam kali lipat dari pertambahan energi terbarukan.

“Selain itu, pada draft RPP KEN terbaru, penggunaan batu bara dan gas fosil masih diperbolehkan hingga tahun 2060, di mana sangat bertentangan dengan kesepakatan iklim dan tren global”, ucap Adila. Rencana penggunaan gas fosil secara masif  juga disampaikan oleh pihak PLN dalam Accelerated Renewable Energy Development (ARED), di mana PLN menargetkan pembangunan 22 GW pembangkit listrik gas baru hingga tahun 2040 mendatang.

Dalam kajian yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia dan CELIOS, rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga gas fosil tersebut berpotensi meningkatkan emisi karbon dalam jumlah besar, yaitu 49,02 juta ton per tahun. Angka ini pun belum memperhitungkan jumlah kebocoran gas metana yang terjadi di sepanjang rantai pasok dari gas fosil, dimulai dari proses ekstraksi, pengiriman/transportasi, hingga penggunaan. 

Perlu diketahui bahwa gas fosil sendiri terdiri dari gas metana sebagai komposisi utama dan gas metana tersebut merupakan salah satu gas rumah kaca yang memiliki kekuatan memerangkap panas matahari di bumi 82.5 kali lebih kuat daripada emisi karbon, sehingga akan menyebabkan pemanasan global dan krisis iklim semakin parah.

Selain itu, penggunaan gas fosil juga menimbulkan kerugian ekonomi bagi pemerintah dan masyarakat, mencakup beban subsidi energi yang membengkak, dimana Indonesia diproyeksikan akan menjadi net importer gas fosil pada tahun 2040, hingga dampak kesehatan dan lingkungan yang meningkat di sekitar pembangkit. Riset Trend Asia juga menunjukkan bahwa pengembangan gas fosil di Indonesia akan semakin menjauhkan Indonesia dari pencapaian target iklim, juga membutuhkan pendanaan besar mencapai US$32,42 miliar yang akan menjadi beban keuangan negara di masa depan.

Di sisi lain, sektor kelistrikan Indonesia juga memiliki pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk menambah bauran energi terbarukan. Dari kesepakatan JET-P (Just Energy Transition Partnership), Indonesia memiliki target mencapai 44% energi terbarukan pada tahun 2030. Lebih dari itu, Presiden Prabowo pun telah menyampaikan komitmennya pada dunia internasional dalam perhelatan G20 tahun lalu, bahwa Indonesia berkomitmen untuk membangun 75 Gigawatt energi terbarukan dalam 15 tahun ke depan dan mencapai Net Zero Emission pada tahun 2050, atau 10 tahun lebih cepat daripada komitmen sebelumnya. 

Untuk mencapai komitmen tersebut, Pemerintah harus berhenti memberi arah kebijakan yang jelas, yaitu harus meninggalkan bahan bakar fosil sepenuhnya serta fokus membangun energi terbarukan. Prinsip ini  harus tercermin dalam kebijakan nasional dan sektoral, termasuk RUPTL baru yang akan menjadi acuan kelistrikan di Indonesia dalam 10 tahun ke depan. “Penghentian dan pembatalan pembangunan pembangkit listrik energi fosil, baik batu bara maupun gas fosil, harus dilakukan untuk menghindari kondisi coal lock-in dan fossil gas lock-in akibat sudah terbangunnya infrastruktur pembangkit dan pendukungnya. Pemerintah seharusnya memberikan ruang bagi energi terbarukan, seperti surya dan angin, untuk tumbuh dan berkembang di Indonesia, sejalan dengan komitmen yang telah disampaikan oleh Presiden Prabowo”, tutup Adila. 

Kontak media:

Adila Isfandiari, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, +62 811-155-760

Rahma Shofiana, Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 811 -1461 -674