PT Global Papua Abadi in Merauke, South Papua. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace
Sebatang pohon berdiri di antara tanaman tebu muda di area yang baru saja ditebang di dalam konsesi tebu PT Global Papua Abadi di Bersehati, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. 14 Desember 2025.
© Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Jika terbang di atas di Merauke, kabupaten yang terletak di bagian selatan Papua, Anda akan melihat hamparan tanah datar dengan vegetasi khas: hutan, sabana, dan rawa-rawa amat luas. Namun hari-hari ini, Anda juga akan melihat bagaimana sebagian besar lanskap itu tengah berubah. Ekskavator dan alat berat beroperasi di sana-sini, mengubah tutupan hijau menjadi tanah cokelat. Gelondongan kayu tebangan bertumpuk membentuk petak-petak. 

Di kampung-kampung, ada Masyarakat Adat Marind, Yei Nan, dan Muyu, yang resah. Penghancuran itu mengintai kehidupan mereka, termasuk mengancam tanah yang diwariskan turun-temurun dari leluhur. Perusahaan bahkan merangsek ke wilayah ulayat Masyarakat Adat yang menolak menyerahkan tanah. 

Di Tanah Marind ini, perampasan tanah dan penghancuran hutan terjadi demi program pemerintah Indonesia untuk ambisi swasembada pangan, energi, dan air – dikenal dengan nama Proyek Strategis Nasional. Presiden Prabowo Subianto meletakkan ambisi ini dengan bingkai pemantapan ketahanan negara demi melegitimasi pelibatan militer dengan skala masif. Komando Daerah Militer (Kodam) baru didirikan di Merauke, yang ditaksir memiliki lebih dari 5.000 personel tempur. Di jalanan Kota Merauke, kendaraan dan personel tentara yang berlalu lalang kini jadi pemandangan jamak. Namun bagi orang asli Papua, dengan sejarah kekerasan panjang yang mereka alami, kehadiran militer menjadi teror tersendiri.

Retorika pemerintah sungguh ironis, sebab kenyataannya PSN tidak meningkatkan ketahanan pangan maupun keamanan politik. Bagi banyak orang Marind, ketahanan pangan dan kebebasan berpolitik berarti bergerak melintasi hutan alam, sabana dan lahan basah, menjumpai pangan liar nan melimpah. Mengubah bentang alam tersebut menjadi monokultur intensif seperti perkebunan tebu atau kelapa sawit sama artinya dengan memperbudak organisme hidup. Sebagaimana dijelaskan oleh seorang perempuan Marind bernama Rafaela kepada antropolog lingkungan Sophie Chao: “Makhluk yang merdeka menghasilkan makanan yang merdeka. Makanan hutan memiliki rasa kebebasan. Dan tidak ada yang rasanya senikmat kebebasan.”

Greenpeace Indonesia meneliti salah satu proyek pemerintah di Merauke ini, yakni PSN Kebun Tebu, yang menarget area seluas 560.000 hektare – setara dengan luas Pulau Bali. Sebuah konsorsium beranggotakan 10 perusahaan bakal menggarap proyek tersebut. Sembilan dari 10 perusahaan itu terhubung dengan dua grup korporasi dengan rekam jejak panjang di industri sawit.

Bila diteruskan, pemerintah Indonesia sama saja sedang menyemai petaka dari kehancuran hutan Papua, yang seharusnya menjadi benteng penjaga iklim dan keanekaragaman hayati. Greenpeace Indonesia mengajak Anda, pembaca, untuk bersama-sama mendesak pemerintah agar menghentikan PSN Tebu Merauke dan menyelamatkan hutan Papua, sebab Papua bukanlah tanah kosong.

Baca laporan selengkapnya di tautan berikut.

Kontak Media:

Refki Saputra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, +62 852-6351-5392

Budiarti Putri, Juru Kampanye Komunikasi Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105