
15 Juli 2020, Jakarta. Indonesia memasuki rawan kebakaran hutan dan lahan, Greenpeace Asia Tenggara mengungkapkan bahwa Asia Pulp and Paper (APP), perusahaan pulp dan kertas terbesar di dunia, yang dimiliki oleh Sinar Mas Group, telah secara aktif membuka lahan gambut Sumatra untuk perkebunan kayu pulp yang melanggar komitmen mereka sendiri dalam melestarikan dan memulihkan ekosistem kaya karbon dan mengurangi emisi. APP merupakan pemasok untuk perusahan merek besar dunia seperti Unilever, Askul dan Woolworths yang saat ini mengumpulkan para pemangku kepentingannya dalam sebuah forum membahas kelestarian lingkungan.
Dengan menggunakan analisis citra satelit terbaru, Greenpeace menemukan bukti bahwa antara Agustus 2018 hingga Juni 2020, terdapat lebih dari 3.700 hektar lahan gambut dihancurkan di tiga konsesi, yang dimiliki atau bagian dari pemasok utama bagi APP serta 50 hektar lahan terbakar pada akhir Juni di salah satu konsesi tersebut. Pada periode yang sama Greenpeace juga menemukan sekitar 53 km kanal drainase telah digali, padahal perusahaan pada 2013 telah berkomitmen untuk mengakhiri perannya dalam deforestasi serta melindungi lahan gambut dengan pendekatan konservasi terbarunya.
“Perusahaan perkebunan secara hukum bertanggung jawab atas kebakaran di lahan mereka, namun APP telah melanggar hukum dan mencederai keadilan, lolos dengan hukuman ringan yang seharusnya layak mendapat hukuman berat. Saat mereka melanggar, kemudian mereka akan membuat komitmen baru untuk melindungi dan memulihkan ekosistem yang telah mereka hancurkan. Ini sebuah lelucon terhadap upaya APP yang kini tengah mengumpulkan para pemangku kepentingan berbicara soal keberlanjutan lingkungan. Perusahaan mana pun tidak pantas mengaku peduli lingkungan jika masih terus berbisnis dengan APP,” kata Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Asia Tenggara.
Pembangunan kanal yang ditemukan di konsesi APP digali di areal gambut supaya mereka bisa mengeringkan lahan yang disiapkan untuk perkebunan kayu pulp. Saat vegetasi di lahan tersebut ditebang dan dibakar, lahan gambut yang kering tersebut dapat terbakar kembali selama berbulan-bulan, menyebabkan kabut asap beracun yang menyelimuti daerah sekitarnya dan telah memicu krisis kesehatan tahunan di seluruh wilayah tersebut.
“Disaat masyarakat khawatir terjadi krisis kesehatan tidak hanya terkait Covid-19 tetapi juga kabut asap kebakaran tahunan, APP justru membakar konsesi untuk membuka lahan. Perusahaan yang masih berbisnis dengan APP juga turut andil berkontribusi dalam persoalan perusakan hutan dan memicu kabut beracun tahunan yang membuat jutaan orang jatuh sakit di seluruh wilayah,” kata Kiki.
Rekam Jejak Perusahaan APP Terkait Masalah Lingkungan, HAM dan Perubahan Iklim
- Pada bulan Maret 2013, APP tunduk pada tekanan organisasi masyarakat sipil dan pelanggannya untuk mengadopsi Kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation Policy /FCP). APP berkomitmen untuk mengakhiri pembukaan hutan di dalam konsesi mereka sendiri dan lahan perusahaan pemasok, melindungi hutan yang tersisa, meningkatkan pengelolaan lahan gambut dan bekerja sama dengan masyarakat untuk menyelesaikan konflik sosial. Pada bulan April 2014, APP berkomitmen untuk melindungi dan memulihkan 1 juta hektar hutan. Dalam 6 tahun sejak komitmen tersebut, APP hanya merestorasi sebagian kecil lahan gambut (5.000 hektar) dari area yang ditargetkan seluas 78.000 hektar (APP 2019 FCP Progress Update. 20th March. Stakeholder Advisory Forum.)
- Total emisi Sinar Mas Group terdiri dari Golden Agri Resources (GAR) dan Asia Pulp and Paper (APP) setara dengan hampir 3,5 kali lipat emisi tahunan Singapura, berdasarkan analisis Greenpeace International yang diterbitkan pada akhir tahun lalu.
- APP adalah anggota pendiri dari Pendekatan Stok Karbon Tinggi (HCSA), yang berkomitmen untuk tidak melakukan ekspansi lahan gambut berapa pun kedalaman gambutnya.
- APP harus bertanggung jawab atas perusakan kawasan hutan dan lahan gambut yang merupakan habitat harimau, gajah, dan orangutan. Pada mei 2020, seekor harimau Sumatra yang terancam punah ditemukan mati di konsesi PT Arara Abadi.
- APP diduga melakukan banyak pelanggaran HAM di Sumatera. Lebih dari 90 organisasi sipil lokal dan internasional meminta mitra bisnis APP untuk menangguhkan kesepakatan dengan perusahaan hingga mereka telah melakukan “perubahan radikal” di seluruh bisnisnya.
Catatan:
Antara 2015 dan 2018, lebih dari 3,4 juta hektar lahan terbakar di Indonesia area dengan luas melebihi Singapura. Indonesia adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar keempat di dunia, sebagian besar disebabkan oleh kebakaran lahan gambut dan deforestasi yang sebagian besar terjadi demi komoditas seperti minyak kelapa sawit dan pulp.
Pengembangan perkebunan adalah akar penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut Indonesia. Pada 2015, kebakaran hebat terjadi di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kebakaran ini menghasilkan kabut yang mengganggu jutaan orang di seluruh wilayah Asia Tenggara. Para peneliti di Universitas Harvard dan Columbia memperkirakan bahwa asap dari kebakaran di Indonesia tahun 2015 diperkirakan telah menyebabkan 100.000 kematian dini. Bank Dunia menghitung biaya bencana sebesar Rp 221 Triliun.
Kebakaran tahun 2015, mendorong Presiden Joko Widodo membentuk sebuah badan untuk memulihkan sekitar 2 juta hektar lahan gambut yang rusak dan berjanji untuk meminta perusahaan bertanggung jawab atas kebakaran di konsesi mereka. Namun, hampir tidak ada perusahaan kelapa sawit dan pulp yang konsesinya memiliki area lahan terbakar terbesar telah diberi sanksi yang serius.
Kontak Media:
Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Tel 62-811-8706-074 , email [email protected]
Rully Yuliardi, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, Tel 08118334409, email [email protected]