
Jakarta, 12 Juni 2025. Setelah kampanye #SaveRajaAmpat yang mendapat dukungan publik luas, Greenpeace Indonesia meluncurkan sebuah laporan yang mengungkap rencana penambangan nikel di Raja Ampat secara utuh. Laporan ini menguak bagaimana ancaman tambang nikel masih mengintai kawasan konservasi penting di dunia tersebut, kendati pemerintah baru-baru ini menyatakan mencabut empat dari lima izin usaha pertambangan (IUP) aktif di Raja Ampat.
Dalam laporan berjudul “Surga yang Hilang? Bagaimana Pertambangan Nikel Mengancam Masa Depan Salah Satu Kawasan Konservasi Paling Penting di Dunia”, Greenpeace membeberkan bahwa total ada 16 izin pertambangan nikel di Raja Ampat, meliputi lima izin aktif dan 11 izin yang sebelumnya pernah diterbitkan–tetapi sudah dibatalkan atau kedaluwarsa. Sebanyak 12 dari 16 izin yang ditemukan tersebut berada dalam kawasan Geopark Global UNESCO.
Beberapa poin kunci temuan Greenpeace di antaranya:
- Dua izin yang sebelumnya dibatalkan atau kedaluwarsa, tapi diterbitkan kembali pada 2025.
- Tiga izin lain yang sebelumnya dibatalkan atau kedaluwarsa yang aktif kembali setelah perusahaan menggugat ke pengadilan dan menang.
- Izin yang sebelumnya diterbitkan untuk pertambangan nikel di Kepulauan Fam. Izin ini mencakup area tujuan wisata terkenal Piaynemo.
- Sejumlah politically exposed persons (PEPs) di balik tambang nikel aktif di Raja Ampat.
- Rantai pasok bijih nikel dari Raja Ampat ke PT IWIP di Maluku Utara.
- Rencana pembangunan smelter di Sorong, yang secara tak langsung menandakan bahwa ancaman tambang nikel di Raja Ampat belum berlalu.

Pencabutan empat IUP di Raja Ampat tidak serta-merta menyelesaikan permasalahan sosial dan lingkungan yang telah berlangsung. Preseden tentang pengaktifan kembali IUP yang telah dicabut sudah pernah terjadi di Raja Ampat. Hal ini menandakan bahwa ancaman kerusakan lingkungan akibat tambang nikel di Raja Ampat belum sepenuhnya hilang dengan pencabutan izin.
“Kami khawatir pernyataan pemerintah tentang pencabutan izin itu hanya untuk meredam kehebohan dan tuntutan publik. Maka dari itu, Greenpeace bersama 60 ribu orang yang sudah menandatangani petisi akan terus memantau supaya Raja Ampat betul-betul dilindungi. Pemerintah harus melindungi seluruh Raja Ampat dan menghentikan semua rencana penambangan nikel serta rencana pembangunan smelter di Sorong,” kata Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia. Arie juga menyebut pemerintah semestinya mencabut pula izin PT Gag Nikel, demi pelindungan Raja Ampat secara menyeluruh.
Acara media briefing dan diskusi peluncuran laporan Surga yang Hilang juga turut menghadirkan narasumber dari berbagai sektor yakni, Dwi Januanto Nugroho (Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Kementerian Kehutanan), Dian Patria (Kepala Satuan Tugas Korsup Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi), Angela Gilsha (aktor), dan Ahmad Aris (Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan), yang bergabung secara daring.
Bersama dengan Greenpeace Indonesia, Angela Gilsha ikut menyaksikan kerusakan akibat tambang nikel yang terjadi di Raja Ampat di awal bulan Mei ini. Sebagai pecinta wisata bawah laut, Angela dikagetkan dengan keberadaan tambang nikel di wilayah Global Geopark UNESCO. Angela juga menceritakan pengalamannya yang dikejar oleh petugas keamanan tambang nikel di Pulau Kawe saat sedang mengambil gambar.
“Saya sempat kaget, karena saya berpikir… ini ada izinnya, kan? Kok, kami dikejar-kejar seperti buronan. Kalau ada izinnya, harusnya enggak apa-apa orang mau melihat sedikit. Masa enggak boleh?” kata Angela yang mengaku terus dikejar sampai kapalnya berada di luar batas pulau.
Ahmad Aris menegaskan bahwa semua pulau yang dilaporkan dalam laporan Greenpeace Indonesia bukan hanya masuk kategori pulau kecil, tetapi pulau sangat kecil (tiny island). Pulau-pulau ini dilindungi oleh peraturan dari kegiatan yang sifatnya eksploitatif. Menurut Aris, pulau-pulau kecil bentang alamnya sebagian besar diisi oleh laut, sehingga kegiatan eksploitatif, seperti tambang nikel, berpotensi mengubah hingga merusak bentang alam yang ada di pulau tersebut.
Dalam paparannya, Dian Patria juga menyoroti berbagai tantangan tata kelola pertambangan di Indonesia. Terkait dengan indikasi temuan kerugian negara yang dirasakan akibat ekspansi tambang nikel, Dian menekankan tentang besarnya kerugian tak kasat mata dibandingkan kerugian materiil.
“Kalau kita bicara kerugian (akibat nikel), kita dapat berapa sih sebenarnya? Dibandingkan dengan memulihkan karang, lingkungan yang rusak, itu mungkin nggak seberapa. Bagi saya, rasanya (kerugian materiil) mungkin tidak sebanding dengan kalau kita bicara tentang dampak lingkungan, dampak sosial, dan sebagainya ya,” ucap Dian. Pernyataan ini menegaskan kembali pentingnya mempertanyakan harga sebenarnya dari industri nikel yang selama ini digadang-gadang sebagai keran investasi.

Sementara itu, Januanto mengapresiasi aksi Greenpeace Indonesia yang telah menggugah publik untuk ikut mendesak pemerintah Indonesia untuk membenahi sektor penegakan hukum lingkungan. “Yang perlu kita benahi adalah proses terkait pengawasan terutama terkait izin-izin yang dikeluarkan. Ini adalah momen yang bagus. Ketika kontrol sosial dari kawan-kawan sangat kuat,” katanya. “Ini adalah langkah-langkah korektif yang dapat kami ambil ke depannya.”
[SELESAI]
Unduh laporan lengkap Surga yang Hilang.
Akses foto dan video melalui tautan ini.
Catatan Editor:
[1] Dua izin yang diaktifkan kembali tahun ini (PT MRP dan PT Nurham) merupakan tindak lanjut dari upaya hukum yang dilakukan perusahaan untuk mengaktifkan kembali izin yang telah dibatalkan sebelumnya.
Kontak Media:
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, +62 811-5200-822
Agnes Alvionita, Tim Komunikasi Greenpeace Indonesia, +62 858-1028-8575