Jakarta, 20 Februari 2019. Publik dikejutkan pada debat putaran kedua calon presiden (capres) 2019 ketika capres nomor urut 01, Joko Widodo, mengungkapkan areal yang dimiliki oleh capres 02 Prabowo Subianto, 220 ribu hektare di Kalimantan Timur dan 120 ribu hektare di Aceh. Dalam kesempatan yang sama, Prabowo juga mengakui bahwa dirinya memang menguasai sejumlah lahan milik negara dengan status Hak Guna Usaha (HGU).

Forest Destruction in Sumatra. © Jeremy Sutton-Hibbert

Informasi HGU adalah informasi publik yang telah ditegaskan melalui putusan Komisi Informasi Pusat (KIP), lalu dikuatkan dengan putusan PTUN dan Mahkamah Agung (MA). Putusan ini sebagai bagian dari perjuangan keterbukaan informasi yang dilakukan FWI bersama publik sejak 1 Desember 2015. Meskipun telah dinyatakan terbuka, sampai detik rilis ini dikeluarkan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) masih membangkang dan belum juga mau membuka dan menyerahkan informasi HGU yang disengketakan.

Baca : http://fwi.or.id/publikasi/putusan-mahkamah-agung-republik-indonesia/

Mufti Barri, Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI mengungkapkan kejadian tersebut sebagai ironi. “Sentilan informasi yang dikeluarkan oleh capres nomor urut satu adalah sebuah ironi dimana informasi yang seharusnya dibuka untuk publik, yang sebelumnya selalu ditutup-tutupi, tapi malah dibuka dalam panggung debat antar capres sebagai bagian dari upaya melanggengkan kekuasaan. Sementara urgensi keterbukaan informasi HGU yang lebih besar, seperti penyelesaian konflik sosial, tumpang tindih perizinan dan deforestasi malah diabaikan.”

Apresiasi bisa diberikan oleh publik ketika Peraturan Menteri No. 7 Tahun 2017 Pasal 61 memasukkan putusan pengadilan atas informasi HGU yang secara utuh terbuka bagi publik, sebagai bentuk perubahan kebijakan yang mengarah pada tata kelola sumber daya alam yang lebih terbuka. Namun ketika implementasinya berbanding terbalik, apresiasi tidak layak lagi diberikan. Kenyataannya, produk kebijakan tersebut dilanggar oleh pembuat kebijakan itu sendiri.

“Kami mendukung pengungkapan informasi soal HGU, tapi kami menyayangkan sikap Pak Jokowi yang kurang konsisten soal ini. Sebagai Presiden, selama ini beliau tidak segera mengambil sikap atas Menteri ATR/BPN yang hingga saat ini tidak melaksanakan putusan MA. Bahkan aturan Kementerian ATR/BPN sendiri tetap mengklasifikasikan HGU sebagai informasi rahasia meskipun aturan tersebut harus dianggap bertentangan dengan UU dan putusan pengadilan,” ujar Henri Subagiyo, Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).

Menurut Henri, calon presiden nomor urut 02 diharapkan dapat menyikapi hal tersebut dengan bijak. Terlebih beliau juga menyampaikan visinya soal struktur penguasaan SDA yang lebih merata dan berkeadilan. Mustahil hal tersebut dapat terwujud bila rakyat tidak memiliki informasi dan kontrol atas pemberian izin HGU yang selama ini masih tertutup dan hanya bisa diakses segelintir kalangan tertentu.

Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah membuka semua informasi HGU agar masyarakat bisa mengetahui pihak-pihak mana saja yang memiliki keistimewaan penguasaan lahan. “Polemik kepemilikan HGU pasca debat hanya dijadikan alat saling serang antara kedua kubu, tetapi tidak menjawab persoalan utama yakni transparansi publik” kata Asep Komarudin, Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia. Saat ini Greenpeace Indonesia tengah menempuh sidang di Komisi Informasi Pusat menggugat Kementerian ATR/BPN untuk membuka dokumen HGU dan HGU terlantar beserta petanya, di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Jika memang Jokowi dan Prabowo peduli dengan isu lingkungan dan transparansi, seyogyanya mereka bisa memberikan perhatian dan dukungan penuh terhadap problem keterbukaan informasi HGU ini.

Catatan Editor:

  • Ketidakpatuhan  ATR/BPN  terhadap  putusan  Mahkamah  Agung  telah  dilaporkan  kepada Kantor  Staf  Presiden  dan  Ombudsman  Republik  Indonesia.  Ombudsman  telah  dua  kali mengundang KemenATR/BPN untuk menyelesaikan sengketa ini, namun pihak dari Kemen ATR/BPN tidak hadir. Selanjutnya, Ombusman mengeluarkan surat panggilan I untuk KemenATR/BPN pada tanggal 16 Januari 2016. Namun sampai saat ini, hasil panggilan pertama tersebut masih di-review oleh pihak Ombudsman.
  • Tertutupnya data HGU, khususnya HGU perkebunan Kelapa Sawit secara tidak langsung juga berdampak terhadap Deforestasi dan tumpang tindih perizinan yang terjadi di Indonesia. Sampai dengan tahun 2013, FWI mencatat lebih dari 500 ribu hektar deforestasi terjadi di dalam konsesi perkebunan kelapa sawit. dan di tahun 2016, ada 8,9 juta hektar daratan di 10 Provinsi terjadi tumpang tindih perizinan.
  • Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor : 121/K/TUN/2017 yang dikeluarkan pada 6 Maret 2017 menyatakan dokumen HGU sebagai informasi publik yang bersifat terbuka.
  • Petisi agar kementerian ATR/BPN membuka dokumen HGU: https://www.change.org/p/jokowi-tegur-menteri-atr-bpn-djalil-sofyan-agar-patuhi-hukum- bukainformasihgu

Kontak Media:

  • Mufti Barri, Manager Kampanye dan Advokasi FWI. telp: 082110677935. email: [email protected]
  • Henri Subagiyo, Direktur Indonesian Center for Environmental Law. telp: 0815 8574 1011. email: [email protected]
  • Astrid Debora, Deputi Monitoring dan Manajemen Pengetahuan Indonesian Center for Environmental Law. telp: 0812 8142 6007. email: [email protected] / [email protected]
  • Asep Komarudin, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia. telp:  081310728770. email: [email protected]