Jakarta, 7 Februari 2019 — Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) bersama dengan Greenpeace Indonesia meluncurkan sebuah laporan yang memaparkan tentang urgensi Indonesia menuju transisi energi dari batubara menuju energi terbarukan, khususnya bila ditinjau dari sisi keekonomian. Laporan tersebut diluncurkan hari ini di Jakarta, menghadirkan Alin Halimatussadiah (Kepala Kajian Lingkungan LPEM FEB-UI) dan Peter Kiernan (Kepala Analis BIdang Energi The Economist Intelligence Unit) sebagai pemapar utama.

Climate Rescue Station in Borobudur. © Ulet Ifansasti

Penyediaan listrik di Indonesia masih sangat bergantung kepada sumber energi fosil, khususnya batubara. Pada tahun 2017, batubara mendominasi pembangkitan listrik di Indonesia (58,3% total daya terpasang), diikuti oleh gas (23,2%) dan minyak bumi (6%). Potensi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil sebagai sumber listrik tampaknya masih akan terus berlanjut hingga tahun 2025. Hal ini terlihat jelas dari Rancangan Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL 2018-2027, Kemen ESDM), dimana porsi batubara sebesar 54,4%.

“Indonesia perlu segera mengunci komitmen untuk pengembangan energi terbarukan mengingat ketergantungan pada batubara merugikan bukan hanya dalam jangka pendek tetapi untuk anak cucu kita ke depan, “ kata Alin Halimatussadiah.

Dalam laporan Coalruption yang diluncurkan Greenpeace Indonesia, ICW, Auriga dan JATAM pada Desember 2018 lalu, terlihat jelas bahwa faktor ketergantungan Indonesia terhadap penggunaan batu bara erat kaitannya dengan kepentingan bisnis tersebut dalam pusaran elite politik. “Korupsi politik di sektor batubara telah menyebabkan pertumbuhan bisnis komoditas ini berkembang pesat, sehingga kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang ditimbulkan pun kian besar dan diabaikan. Transisi dari energi batubara ke energi terbarukan harus berawal dari komitmen presiden terpilih,” ujar Tata Mustasya, Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Asia Tenggara.

Ketergantungan terhadap energi batubara membawa kerentanan terhadap perekonomian Indonesia. Kerentanan ekonomi tersebut timbul dari ketergantungan terhadap batubara yang harganya berfluktuasi di pasar internasional. Untuk menyokong operasinya, PLN yang hampir 60 persen pembangkitannya dari PLTU batubara membutuhkan subsidi yang sangat besar, dengan jumlah yang meningkat dari tahun ke tahun, mencapai Rp 59 triliun atau lebih dari seperempat total subsidi di APBN 2019. Bisnis PLTU batubara juga telah menimbulkan risiko yang muncul dari model take-or-pay, di mana listrik yang dihasilkan pembangkit harus dibeli oleh PLN dengan harga tertentu yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, PLN sebagai offtaker mengambil semua risiko pasar yang ada dengan membeli listrik yang sebenarnya tidak diperlukan.

Pentingnya mengembangkan EBT di Indonesia bukan hanya akan berdampak pada perekonomian secara makro, tetapi juga didukung oleh beberapa hal lain seperti potensi EBT yang sangat besar yang belum banyak termanfaatkan, kelayakan bisnis pembangkit EBT yang semakin kompetitif dengan pembangkit berbasis fosil, dan potensi EBT untuk mendorong industrialiasi. Teknologi pembangkitan EBT semakin meningkat dan efisien, membuat biaya investasi akan semakin murah dengan biaya operasional yang sangat rendah dan stabil dibandingkan pembangkitan dari energi fosil. “Target energi bersih yang dimiliki Indonesia harus ditopang oleh pelaksanaan kebijakan energi yang jelas agar bisa dicapai. Indonesia saat ini tertinggal dari negara-negara lain dalam usaha men-dekarbonisasi energinya, “ kata Peter Kiernan.

Di saat negara berkembang lainnya seperti Tiongkok, India, Malaysia, dan Thailand meningkatkan kapasitas  EBT yang lebih besar dalam bauran energinya, Indonesia justru melawan arus tren dunia dengan menggenjot produksi batubara. Padahal Indonesia dianugerahi kekayaan sumber energi terbarukan yang melimpah, seperti energi matahari dan angin. Sudah saatnya negara ini beralih pada pembangunan yang bersumber dari energi bersih dan berkelanjutan.

Catatan Editor:

  1. Link ke laporan Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batu bara
  2. Menimbang Urgensi Transisi Menuju Listrik Energi Baru Terbarukan

Kontak Media:

  • Tata Mustasya, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, 0812-962-6997
  • Rahma Shofiana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, 0811-1461-674