Bali, Indonesia, 16 April 2018. Emisi dari pembangkit listrik Celukan Bawang, di Kabupaten Buleleng, sudah mencemari kawasan tersebut dan menyebabkan masalah kesehatan bagi masyarakat setempat. Greenpeace Indonesia telah melaporkan kesaksian warga desa tentang meningkatnya masalah pernafasan di keluarga mereka.

Bukan hanya berdampak pada kesehatan mereka , para petani dan nelayan pun terpaksa kehilangan mata pencaharian karena hasil tangkapan dan panen berkurang. Meskipun demikian, sekarang ada rencana untuk memperluas pembangkit dan menambah kapasitasnya sebesar 2×330 MW  batubara. Ini akan lebih dari dua kali lipat kapasitas pembangkit sebelumnya dan memperburuk polusi yang dihasilkannya.

“Rencana perluasan ini tidak boleh dibiarkan berlanjut,” kata Dewa Putu Adnyana, dari LBH Bali. “Kami sekarang sedang mengajukan gugatan untuk menghentikan proyek, belum ada konsultasi publik tentang rencana perluasan, yang dipaksakan tanpa penilaian dampak lingkungan yang sesuai dengan hukum”.

“Bali adalah permata berharga bagi Indonesia, yang harus dihargai dan dilindungi, tidak dihancurkan dengan polusi. Begitu banyak mata pencaharian akan hilang ketika emisi dari PLTU ini tersebar di wilayah tersebut.

Memperluas PLTU Celukan Bawang adalah pengkhianatan bagi masyarakat Bali oleh gubernur Bali dan perusahaan pengembangnya, ”kata Didit Haryo, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Habitat lumba-lumba di Pantai Lovina, Bali, hanya berjarak 20 kilometer dari PLTU Celukan Bawang

Bukan hanya pertanian lokal dan komunitas nelayan yang akan menderita jika perluasan ini terus berlanjut. PLTU Celukan Bawang hanya berjarak 20 km dari Pantai Lovina, kawasan wisata populer yang terkenal karena pantai pasir hitam, terumbu karang, dan lumba-lumba. Lumba-lumba khususnya akan terpengaruh oleh peningkatan lalu lintas kapal dan kebisingan dari mesin kapal. Polusi meningkat yang mendorong wisatawan pergi, mempengaruhi mata pencaharian semua orang yang bekerja di sektor ini.

PLTU juga menimbulkan risiko bagi Taman Nasional Bali Barat, rumah bagi satwa langka dan dilindungi termasuk macan tutul Jawa, trenggiling dan jalak Bali yang semuanya sangat terancam. Tidak dapat dipungkiri bahwa emisi dari PLTU akan mencemari daerah yang indah ini.

“Batu bara bukan sumber listrik masa depan,” kata Didit Haryo.

PLTU yang ada dikembangkan oleh sekelompok perusahaan, termasuk China Huadian Engineering Co, Ltd (CHEC), Merryline International Pte. Ltd (MIP) dan PT General Energy Indonesia (GEI), dengan perkiraan total investasi mencapai 700 juta USD, didukung oleh China Development Bank.

Di dalam negeri, Cina telah menderita polusi udara yang mengerikan dari ketergantungannya pada batubara. Ketika Cina mengalami transisi energi dari batubara dan menunjukkan kepada dunia apa yang dapat diberikan energi terbarukan, perusahaan dan bank China juga harus bertujuan untuk mempercepat transisi energi ke luar negeri dengan berinvestasi lebih banyak ke energi terbarukan.

Tahun lalu saja China menghasilkan kapasitas terpasang dari tenaga surya lebih dari seperempat dari total permintaan listrik tahunan Indonesia.

“Ini perlu menjadi masa depan kita juga. Bali hanya akan bertahan hidup dan berkembang sebagai tujuan wisata jika memiliki energi yang bersih dan berkelanjutan, bukan emisi polusi dari pembangkit batubara seperti di Celukan Bawang, ”tutupnya.

Laporan lengkap Meracuni Pulau Dewata

Kontak media:

Didit Haryo, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia,  +62 813-1981-5456
Dewa Putu Adnyana, Perwakilan LBH Bali,
Rahma Shofiana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, +62811-1461-674