Jakarta, 20 Desember 2018–Jelang akhir tahun 2018, gerakan masyarakat non partisan #BersihkanIndonesia gelar aksi teatrikal di lintasan penyeberangan jalan utama ibukota seraya mengajak pemilih milenial memilih pemimpin yang berorientasi jangka panjang dan berpihak pada energi bersih, adil, dan berkelanjutan. Ajakan ini dilakukan mengingat hingga 2018 Indonesia masih kecanduan pada energi fosil, sehingga belum mengedepankan kedaulatan energi yang bertumpu pada energi bersih dan terbarukan.

“Hingga 2018, Indonesia banyak menyia-nyiakan kesempatan beralih ke energi bersih. Eratnya hubungan penguasa dengan pengusaha kerap menghasilkan kebijakan energi yang tidak tepat, seperti menjamurnya pembangkit listrik berbasis batubara. Tahun 2019 merupakan kesempatan kita untuk mulai mewujudkan masa depan yang bersih, berdaulat dan berpihak pada manusia dan lingkungan.” ujar Didit Haryo Wicaksono, Greenpeace Indonesia.

“Kaum pemilih muda dan milenial semakin lantang dalam menyuarakan dorongan untuk beralih ke energi bersih terbarukan. Mereka melihat masa depan energi bersih dan berdaulat dengan energi terbarukan sebagai masa depan mereka. Energi bersih akan memberikan mereka lapangan pekerjaan baru, pola konsumsi ramah lingkungan yang sesuai dengan idealisme mereka serta kebanggaan hidup di kota dengan udara dan lingkungan yang bersih,” ujar Juris Bramantyo, Koaksi Indonesia.

“Pemerintah Indonesia masih menunjukkan keberpihakan akut terhadap batubara. Hal ini terlihat nyata dari berbagai kebijakan di tahun ini yang dirancang untuk mendorong peningkatan dan perluasan produksi batu bara secara tidak terkendali yang mengabaikan keamanan manusia termasuk anak-anak generasi penerus bangsa, kesejahteraan warga setempat, ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan hidup,” ujar Ki Bagus Hadikusuma, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).

Gerakan #BersihkanIndonesia merupakan gerakan masyarakat sipil non partisan yang didukung 35 organisasi dari seluruh Indonesia. Gerakan yang dideklarasikan pada bulan September 2018 ini membawa aspirasi pemilih muda dan milenial Indonesia akan masa depan energi yang bersih dan berkelanjutan dimana energi terbarukan menjadi pilihan sistem energi yang utama, meninggalkan sistem energi kotor khususnya batu bara yang berdampak pada masyarakat serta lingkungan hidup dan sarat praktik korupsi.

Gerakan ini menantang para calon presiden dan para calon anggota legislatif yang akan berkontestasi di Pemilu 2019 nanti untuk merumuskan visi, misi dan program yang dapat membawa Indonesia pada cita-cita Indonesia berdaulat energi dengan energi bersih dan terbarukan. https://www.bersihkanindonesia.org

Narahubung:

  • Juris Bramantyo, Koaksi Indonesia, +62 856-4310-3230
  • Didit Haryo Wicaksono, Greenpeace Indonesia, +62 813-1981-5456
  • Ki Bagus Hadikusuma, JATAM, +62 857-8198-5822

Kontributor Catatan Akhir Tahun 2018 #BersihkanIndonesia:

  • Ali Akbar, Kanopi Bengkulu, +62 852-7357-2112
  • Dadan Ramdan, Walhi Jabar, +62 812-2264-9424
  • Irfan Toni Herlambang, 350.org Indonesia, +62 812-9900-088
  • Khalisa Khalid, Walhi, +62 812-9040-0147

Beberapa catatan yang telah direkam oleh gerakan adalah sebagai berikut:

  1. Indonesia masih terjerat ketergantungan batu bara

Untuk kebutuhan listrik dalam negeri, pemerintah tak kunjung meninggalkan energi batu bara, terlihat dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara tahun 2018-2027 yang menargetkan penggunaan batubara dalam bauran energi mencapai 54% di tahun 2027, dua kali lipat jika dibandingkan target bauran energi terbarukan yang hanya 23% di tahun yang sama.

Padahal ketergantungan sistem energi pada batubara di tahun 2018 telah terbukti membawa berbagai masalah ekonomi dan lingkungan hidup bagi Indonesia. Kenaikkan harga komoditas internasional ini di pertengahan tahun 2018 menyebabkan anggaran belanja bahan bakar PT. PLN membengkak dan kerugian besar yang terpaksa ditutup oleh APBN, serta menyebabkan Indonesia terpaksa menetapkan batas harga nasional dengan kebijakan DMO ditetapkan pada harga yang jauh di bawah harga internasional ($70 per ton) demi menekan kerugian tersebut.

Dari sisi lingkungan hidup, keberpihakan Indonesia pada batubara tercermin dalam kegagalannya dalam merumuskan pengetatan standar baku mutu emisi PLTU Batu bara, dimana terjadi intervensi dari sektor pada kementerian yang berwenang yang berupaya untuk menjegal upaya untuk mengatasi batu bara sebagai salah satu sumber pencemaran udara yang meningkat dengan pesat. Padahal setiap tahunnya, jutaan orang terkena dampak kesehatan dari polusi udara yang semakin parah. Tahun ini, Jakarta beberapa kali menjuarai peringkat kota dengan polusi udara terparah di dunia.

Di tahun ini juga, pemerintahan tidak konsisten dalam menentukan kuota produksi batu bara.

Sebelumnya, pemerintah mencanangkan kuota produksi batu bara nasional pada  tahun 2018 sekitar 485 juta ton. Jelang akhir tahun, pemerintah putuskan untuk menaikkan kuota produksi sampai mencapai hampir 500 juta ton demi menggenjot devisa dari ekspor batu bara.

Padahal daya rusak tambang batu bara semakin terlihat nyata di tahun ini. Sampai dengan akhir tahun ini, lebih dari 30 anak telah meninggal di lubang bekas tambang di Kalimantan Timur, akibat pengerukan batu bara yang terjadi secara tidak terkendali dan terjadi di dekat pemukiman dan pusat kegiatan warga. Selain itu, peristiwa amblasnya jalan dan bangunan rumah yang telah menggegerkan warganet Indonesia juga telah terjadi di Kalimantan Timur dan disebabkan oleh keberadaan tambang batubara PT. ABN yang berlokasi dekat dengan titik kejadian.

Dengan demikian angka produksi batu bara dalam tiga tahun terakhir telah melebihi target yang dibuat pemerintah sendiri sebagaimana tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Hal ini bertolak belakang dengan aspirasi untuk mengurangi ketergantungan sistem ekonomi dan energi pada batu bara.

  1. Masih belum ada titik terang bagi energi terbarukan

Pengembangan energi terbarukan mengalami kemandekan selama tahun 2018. Kualitas kebijakan dan kerangka peraturan di sektor energi, konsistensi dalam implementasi kebijakan, proses procurement internal PLN, akses pembiayaan bunga rendah, kapasitas jaringan, dan terbatasnya proyek energi terbarukan yang memenuhi persyaratan pendanaan komersial adalah beberapa faktor yang menghambat percepatan pengembangan energi di Indonesia.

Indonesia tidak berada di jalur untuk mencapai 23% target energi terbarukan sebagaimana ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan RUEN. Situasi telah memburuk karena kebijakan dan regulasi yang menguntungkan kepentingan PT. PLN tetapi gagal menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk memobilisasi investasi sektor swasta. Akibatnya, investasi energi bersih terbarukan terus menurun.

Indonesia adalah negara yang memiliki banyak alasan untuk menjadi pemimpin di dunia dalam bidang energi terbarukan. Indonesia memiliki potensi keragaman sumber energi terbarukan, yang tersebar di seluruh wilayah dan belum termanfaatkan. Sementara di saat yang sama Indonesia juga punya kerentananan yang tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Pembakaran batu bara yang menghasilkan emisi membawa bumi makin panas, melewati ambang batas suhu 1,5°C. Bencana iklim semakin banyak terjadi dan menimbulkan ribuan korban.  Hal itu, seharusnya cukup menjadi alasan bagi Indonesia untuk lebih ambisius dalam mendorong pada transisi yang adil dan segera menuju energi terbarukan.

  1. Kasus Korupsi ungkap lemahnya tata kelola sistem energi

Kasus suap PLTU Riau 1 yang melibatkan pengusaha Johannes B. Kotjo dan kader Partai Golkar Eni Maulani Saragih menunjukkan rentannya proses perencanaan dan pengadaan PLTU Batu bara terhadap praktek korupsi. Perubahan peraturan perencanaan dan pengadaan dilakukan untuk memungkinkan munculnya proyek-proyek siluman dalam perencanaan ketenagalistrikan.

Upaya untuk memperbaiki tata kelola sistem energi khususnya ketenagalistrikan di Indonesia juga tidak mengalami banyak kemajuan karena masih belum ada transparansi data dan informasi, sehingga tidak memungkinkan adanya check and balance. Selain itu, masih belum ada partisipasi publik dalam perencanaan infrastruktur ketenagalistrikan, kendati hal ini memiliki dampak langsung pada kehidupan dan penghidupan masyarakat di tingkat pusat maupun daerah.

  1. Ketidakadilan, kriminalisasi terhadap masyarakat atas nama pembangunan

Tahun ini ditandai dengan kebangkitan warga terhadap pembangunan PLTU batubara raksasa di berbagai belahan Indonesia, termasuk di Jawa Barat (Cirebon dan Indramayu), Bali (Celukan Bawang) serta Bengkulu (Teluk Sepang). Penolakan warga dilatarbelakangi oleh keresahan mengenai perampasan lahan dan hak penghidupan, serta kekhawatiran mengenai dampak negatif pencemaran tanah, air dan udara.

Kendati demikian, penolakan secara hukum yang telah diajukan warga melalui PTUN setempat menemui jalan buntu akibat putusan yang tidak adil, terutama di Cirebon, Indramayu dan Celukan Bawang. Terlebih lagi, warga menjadi korban kriminalisasi atas upayanya untuk bertahan hidup di tengah terjangan arus pembangunan PLTU batubara. Pada bulan April, empat petani asal Indramayu Desa Mekarsari ditangkap dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Mereka ditahan tanpa proses hukum yang jelas. Hal ini diduga merupakan upaya pembungkaman warga untuk memuluskan proses ekspansi PLTU Indramayu.