Jakarta, 20 September 2022 – Institusi Polri tengah menjadi sorotan. Mulai dari drama pembunuhan yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi, hingga beragam perilaku tak terpuji yang dilakukan polisi-polisi pangkat rendah, publik punya banyak alasan untuk kehilangan kepercayaan pada institusi penegak hukum tersebut. Dari sektor pekerja migran, masyarakat juga kian tak yakin polisi dapat menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang saat ini prosesnya sedang mandek.

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat, sejak 2014 hingga 2022, ada sebanyak 19 kasus dugaan TPPO dengan jumlah korban 83 orang yang dilaporkan SBMI ke kepolisian yang sampai saat ini belum rampung. Beberapa di antaranya adalah kasus dengan korban awak perikanan migran atau ABK migran yang pernah bekerja di kapal penangkap ikan asing. Penanganan kasus tersebut mulai dari tingkat Polres sampai Bareskrim Polri. Hal tersebut terungkap dalam webinar bertajuk “Masih Percaya Polri?: Kasus TPPO Pekerja Migran Mandek di Tangan Polisi” kolaborasi SBMI dan Greenpeace Indonesia pada Selasa, 20 September 2022.

“Para pekerja migran menjadi korban berkali-kali. Sudah jadi korban perdagangan orang di proses perekrutan dan penempatan untuk bekerja di luar negeri, sesampai di Indonesia jadi korban lagi karena kasusnya tidak diusut hingga tuntas oleh pihak penegak hukum. Mereka tak kunjung mendapatkan keadilan, sementara pelakunya masih bebas berkeliaran,” kata Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI.

Awal tahun 2022, Project Multatuli dan Tirto menerbitkan laporan investigasi kolaboratif tentang dugaan keterlibatan seorang penyidik dari satuan tugas TPPO Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dalam praktik pemerasan saat menyelidiki kasus dugaan perbudakan ABK migran.[1] Laporan itu juga menyoroti kinerja lamban mereka dalam menangani ratusan kasus perdagangan orang yang menimpa ABK migran. Hingga kini proses hukum kasus-kasus tersebut berlarut-larut, bahkan dibiarkan tanpa kejelasan.

Dalam laporan investigasi kedua media tersebut, terungkap bagaimana permasalahan ABK migran yang ditangani Satgas TPPO Bareskrim Polri kerap menggantung. Bahkan ada dugaan bahwa informasi yang diperoleh dari para ABK justru dimanfaatkan penyidik untuk memeras perusahaan penyalur (manning agency) dengan iming-iming tidak diperpanjang kasusnya. Salah satu hasil penelusuran mereka menemukan bukti-bukti bagaimana sejumlah petugas polisi meminta direktur perusahaan manning agency yang sedang tersandung masalah TPPO untuk menyiapkan uang sebesar 300 juta rupiah agar masalahnya tidak diperpanjang.

“Dugaan pemerasan ini menyuburkan praktik kejahatan tersembunyi lain, di antaranya kongkalikong antara pengacara yang mau membantu agar masalah tersebut bisa diselesaikan lewat jalur belakang, alias ‘jalur damai’, dengan petugas polisi bersangkutan. Pada akhirnya, ada anggapan umum bahwa penyelesaian ilegal semacam ini dalam kejahatan TPPO justru dijadikan apa yang disebut ‘mesin uang’ bagi polisi,” tutur Fahri Salam, pemimpin redaksi Project Multatuli.

Webinar bertajuk “Masih Percaya Polri?: Kasus TPPO Pekerja Migran Mandek di Tangan Polisi” kolaborasi SBMI dan Greenpeace Indonesia pada Selasa, 20 September 2022.

Ini dibenarkan oleh G, salah satu mantan ABK perikanan migran yang kasusnya terkatung-katung sejak 2014 di Bareskrim Polri. Menurut G, alasan yang disampaikan polisi biasanya adalah kurangnya materi atau alat bukti untuk melanjutkan kasus ke tahap berikutnya. 

“Saya melapor tahun 2014 dan perkara digelar pada 2015. Tapi sampai hari ini belum ada titik terang dalam kasus saya. Sudah 8 tahun saya menunggu keadilan atas kasus saya dan kawan-kawan ABK yang lain,” kata G. 

Sejak tahun 2014, Greenpeace Indonesia dan SBMI secara aktif mendampingi dan memberikan advokasi bagi ABK perikanan migran yang menjadi korban TPPO dan kerja paksa selama bekerja di kapal penangkap ikan asing. Praktik perdagangan orang dalam proses perekrutan dan penempatan ABK migran adalah bagian dari rantai praktik kerja paksa dalam industri perikanan global – di mana terlibat negara-negara lain seperti Tiongkok dan Taiwan sebagai pemilik kapal penangkap ikan, Thailand sebagai negara pengolah dan pengemas, serta Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sebagai konsumennya. [2]

“Penegakan hukum di Indonesia akan berdampak pada penegakan hukum dan pemberantasan praktik kerja paksa terhadap awak kapal perikanan migran secara global. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap institusi Polri ini, pihak kepolisian punya kesempatan untuk membuktikan jargon mereka sebagai ‘pengayom masyarakat’. Polri memiliki peran besar untuk turut memutus mata rantai perbudakan ABK dengan menindak manning agency nakal, sehingga perlahan kita juga memperbaiki tata kelola perekrutan dan penempatan ABK perikanan migran,” ujar Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia.

===

Catatan

[1] Liputan Project Multatuli berjudul “ABK Mencari Keadilan di Tangan Bareskrim Polri: Dari Dugaan Pemerasan oleh Penyidik Satgas TPPO hingga Penyelidikan Diklaim Berlarut-larut” dan Tirto berjudul “Dugaan Pemerasan Penyidik & Kasus Perbudakan ABK yang Mangkrak” tayang pada 4 Maret 2022

[2] Temukan lebih banyak fakta dalam laporan “Seabound: The Journey to Modern Slavery on the High Seas” dan “Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fisher” dari Greenpeace Asia Tenggara

Narahubung:

Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, +62 811-4704-730, [email protected] 

Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI, +62 822-9828-0638, [email protected]

Friska Kalia, Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 813-3216-1606, [email protected]