Jakarta, 24 September 2024 – Selama dua bulan ke depan, warga Jakarta akan disuguhi janji-janji politik dari para calon pemimpin daerah. Tapi, apakah krisis iklim akan menjadi topik diskusi yang serius untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok menengah-bawah di Jakarta? Padahal Jakarta saat ini berada di garis depan dampak krisis iklim yang mengancam kehidupan sehari-hari warganya.
Hampir 20% wilayah Jakarta sekarang berada di bawah permukaan laut, sementara hanya 69% penduduk yang memiliki akses ke air bersih. Situasi ini diperparah oleh polusi udara yang terus memburuk, membuat kualitas hidup warga semakin terpuruk. Meskipun berbagai permasalahan ini merenggut kesejahteraan warga Jakarta, krisis iklim belum mendapatkan perhatian yang layak dalam perdebatan politik atau kebijakan publik. Sebagian besar calon pemimpin Jakarta sibuk menawarkan solusi jangka pendek hingga solusi palsu dalam menyelesaikan permasalahan di Jakarta.
Melihat situasi ini, Greenpeace Indonesia merilis laporan bertajuk “Keadilan Iklim untuk Jakarta Berketahanan.” Laporan ini menyoroti bagaimana situasi krisis iklim di Jakarta mulai dari proses pembuatan kebijakan sampai kepada implementasinya. Bukan hanya soal lingkungan, laporan ini juga menyoroti persoalan yang lebih mendalam: keadilan kota atau urban justice.
Ancaman dan dampak krisis iklim menjadi permasalahan serius terhadap kesejahteraan masyarakat – mereka yang hidup di kawasan pesisir, daerah padat penduduk, atau masyarakat dengan ekonomi menengah-bawah menanggung beban paling berat—mulai dari risiko banjir yang lebih sering hingga akses minim terhadap air bersih dan ruang terbuka hijau.
“Hasil riset kami menunjukan bahwa wilayah yang paling berat mengalami dampak krisis iklim di Jakarta justru merupakan wilayah yang ditinggali oleh masyarakat miskin kota atau urban poor. Padahal, mereka merupakan kelompok yang paling sedikit menyumbangkan emisi gas rumah kaca (GRK), faktor utama penyebab krisis iklim. Hal ini membuktikan bahwa tanggung jawab krisis iklim tersebut ditanggung secara tidak adil oleh masyarakat miskin di Jakarta, sehingga menjadikan mereka kelompok paling rentan terhadap dampak krisis iklim,” tutur Jeanny Sirait, Juru Kampanye Isu Keadilan Urban Greenpeace Indonesia.
Di banyak tempat di Jakarta, kelompok rentan ini sering kali tersingkir dari proses perumusan kebijakan. Kebutuhan mereka jarang diperhitungkan dalam kebijakan-kebijakan utama kota, termasuk di bidang infrastruktur, transportasi, dan tata ruang. Hal ini semakin memperdalam ketimpangan sosial di tengah ancaman iklim yang semakin nyata.
Kelompok Menengah-Bawah Menanggung Beban Terberat
Greenpeace menekankan bahwa Jakarta membutuhkan pendekatan yang jauh lebih adil dan inklusif dalam merumuskan kebijakan iklim. Peraturan Gubernur No. 90 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon yang Berketahanan Iklim (RPRKD) masih banyak kelemahan dalam pelaksanaannya. Salah satu yang paling kritis adalah kurangnya keterlibatan masyarakat terdampak dalam proses perumusan kebijakan. Tidak cukup hanya mengidentifikasi siapa yang paling rentan; mereka juga harus dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan dan implementasi kebijakan iklim.
Jeanny menegaskan bahwa Jakarta tidak hanya membutuhkan kebijakan mitigasi yang ambisius, tetapi juga kebijakan adaptasi yang adil. Nelayan di pesisir, warga di wilayah rawan banjir, dan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan harus menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar korban dari kebijakan yang tidak inklusif. Jika kelompok-kelompok ini diabaikan, pembangunan hanya akan memperburuk ketidakadilan yang sudah ada.
Warga Pulau Pari di Kepulauan Seribu adalah contoh nyata dari mereka yang merasakan langsung dampak krisis iklim. Asmania, seorang nelayan perempuan dari pulau tersebut, berbagi tentang bagaimana warga di sana terjebak dalam pusaran masalah yang semakin sulit diatasi. Banjir rob, sulitnya mendapatkan ikan, cuaca yang tidak terprediksi, hingga konflik lahan yang tak kunjung selesai.
“Banyak sekali konflik yang kami hadapi di Pulau Pari. Pembangunan terus digaungkan seperti reklamasi, Proyek Strategis Nasional (PSN), hingga komersialisasi yang dilakukan oleh korporasi tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan—semua ini memperparah keadaan. Kami butuh laut yang bersih dan lingkungan yang lestari.” tutur Asmania yang kerap disapa Aas.
Ia juga mengungkapkan bahwa selama ini warga Pulau Pari jarang dilibatkan dalam diskusi-diskusi penting yang menyangkut kehidupan mereka. Ketidakpedulian ini membuat mereka harus berjuang sendiri, secara swadaya, untuk melawan krisis iklim yang mengancam tanah dan laut yang menjadi tumpuan hidup mereka.
“Kebijakan yang ada seakan-akan dibuat tanpa memikirkan nasib nelayan dan masyarakat pesisir,” imbuhnya
Tantangan Untuk Calon Pemimpin Jakarta
Greenpeace melalui riset ini mendorong pemerintah untuk secara rutin mengevaluasi kebijakan iklim Jakarta dan memastikan alokasi sumber daya yang lebih memadai bagi kelompok rentan. Ini termasuk meningkatkan akses terhadap air bersih, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan infrastruktur transportasi publik yang inklusif. Tanpa perhatian yang lebih serius terhadap kebutuhan kelompok rentan, pembangunan infrastruktur yang terus berlangsung di Jakarta justru berpotensi memperparah ketimpangan sosial dan krisis lingkungan.
Menjelang pemilihan Gubernur, riset ini diharapkan dapat menjadi katalisator penanganan permasalahan keadilan iklim. Para calon pemimpin diminta untuk tidak hanya terpaku pada pembangunan ekonomi berdasarkan nominal semata, tetapi juga memperhatikan dampak lingkungan yang dirasakan oleh masyarakat paling rentan, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial. Dalam krisis iklim, pembangunan tanpa keadilan hanya akan memperdalam kesenjangan sosial dan memperburuk penderitaan bagi mereka yang paling terdampak.
“Kita tidak bisa lagi mengabaikan isu krisis iklim dari perdebatan politik,” ujar Jeanny. “Ini bukan hanya masalah lingkungan, tapi juga soal keadilan sosial. Krisis ini harus menjadi prioritas, bukan hanya bagi pemerintah yang sedang berkuasa, tetapi juga bagi mereka yang ingin memimpin di masa depan. Tanpa komitmen serius untuk menangani krisis iklim dengan cara yang adil, masa depan Jakarta—dan warganya—akan semakin suram.”
Dalam laporan ini, Greenpeace mendesak setiap pemangku kebijakan untuk mengatasi permasalahan krisis iklim. Tidak hanya soal mengurangi emisi atau membangun infrastruktur tahan banjir, namun juga memastikan bahwa semua warga, terutama yang paling rentan, memiliki akses yang sama terhadap sumber daya, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka. Para pemimpin yang akan datang memiliki tanggung jawab untuk memastikan Jakarta beradaptasi dengan krisis iklim tanpa meninggalkan siapapun di belakang.
Baca laporan lengkapnya di sini: Keadilan Iklim untuk Jakarta Berketahanan
***
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
Jeanny Sirait, Juru Kampanye Isu Keadilan Urban Greenpeace Indonesia, 0858-1042-3390
Rahka Susanto, Juru Kampanye Komunikasi Greenpeace Indonesia, 08-111-09-8815