Jakarta, 9 Juli 2025 – Curah hujan tinggi yang masih terjadi di berbagai wilayah Indonesia pada periode Juli, yang seharusnya merupakan puncak musim kemarau, menjadi pertanda ancaman krisis iklim bukan lagi menjadi isapan jempol. Alih-alih memasuki musim kering, sejumlah daerah justru dilanda banjir tidak terkecuali Jabodetabek, dan kota Mataram di NTB.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa dinamika atmosfer yang tak biasa, seperti lemahnya monsun Australia, suhu muka laut yang tetap hangat, serta aktifnya gangguan atmosfer tropis seperti Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, dan Rossby, telah memicu pola cuaca yang tidak stabil dan menyebabkan hujan deras di periode yang semestinya kering.
Greenpeace Indonesia menegaskan bahwa kondisi ini bukan sekadar anomali musiman, tetapi merupakan konsekuensi langsung dari krisis iklim yang selama ini diabaikan oleh pengambil kebijakan. Pendidihan global yang didorong oleh emisi gas rumah kaca, sebagian besar bersumber dari energi fosil, deforestasi, dan industri ekstraktif, telah menyebabkan gangguan sistemik pada iklim dan memperburuk risiko bencana alam di seluruh wilayah Indonesia. Ketika masyarakat justru dihadapkan pada hujan ekstrem saat musim kemarau, maka alarm krisis iklim seharusnya sudah terdengar sangat jelas.
“Kita tidak bisa lagi menormalkan cuaca ekstrem dan musim yang kacau sebagai hal biasa. Fenomena hujan deras di periode Juli adalah peringatan serius bahwa krisis iklim sudah mengubah wajah musim di Indonesia. Pemerintah harus bertindak cepat dan tegas untuk mengurangi emisi dan melindungi rakyat dari dampak krisis iklim yang makin parah,” tegas Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Greenpeace menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk segera memperkuat kebijakan mitigasi dan adaptasi iklim yang konkret dan berkeadilan. Krisis iklim harus diintegrasikan dalam seluruh proses perencanaan pembangunan, termasuk dalam sektor energi, tata ruang, dan pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah juga perlu menghentikan ekspansi energi fosil dan segera beralih ke energi bersih terbarukan yang aman dan berkelanjutan. Meski krisis iklim semakin mengancam, hingga 2024 Indonesia mencatat rekor produksi batu bara tertinggi dalam sejarah, yakni 836 juta ton, melampaui target awal 710 juta ton dan peningkatan 7 % dari tahun sebelumnya (775 juta ton). Tanpa komitmen nyata untuk menurunkan emisi, masyarakat Indonesia akan terus menghadapi musim yang tidak menentu, gagal panen, banjir bandang, hingga krisis air bersih.
Sementara, kebijakan energi yang dikeluarkan pemerintah melalui RPP KEN dan penyediaan tenaga listrik melalui RUPTL semakin jauh dari komitmen transisi energi, dan masih akan bergantung pada energi fosil hingga 2060. Dalam RUPTL yang disosialisasikan, masih terdapat rencana penambahan pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU Batu Bara) sebesar 6.3 Gigawatt dan pembangkit listrik tenaga gas fosil (PLTG) sebesar 10.3 Gigawatt. Penambahan pembangkit listrik baru berbahan bakar fosil akan semakin mengunci pada kondisi coal lock-in dan fossil gas lock-in, baik secara infrastruktur maupun emisi gas rumah kaca (GRK) selama 25 hingga 30 tahun ke depan, bahkan lebih, sesuai dengan masa operasi dari kedua jenis pembangkit tersebut. Selain itu, pada draft RPP KEN terbaru, penggunaan batu bara dan gas fosil masih diperbolehkan hingga tahun 2060.
Berdasarkan data historis, di saat bauran energi terbarukan hanya mencapai 15% pada tahun 2024, laju penambahan pembangkit energi terbarukan tercatat hanya mencapai 3.2 Gigawatt dari 2018 hingga 2023.
“Pemerintah Indonesia harus keluar dari zona nyaman dan berhenti melanjutkan ketergantungan pada energi fosil. Krisis ini tidak pernah adil, dan sayangnya warga serta mereka yang lemah akan menjadi korban paling terdampak. Kita butuh komitmen ambisius pada pengembangan energi terbarukan, peta jalan transisi energi berkeadilan, dan pembangunan yang berpihak pada kelangsungan hidup, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi jangka pendek,” lanjut Bondan.
Greenpeace mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang progresif dan selaras dengan target penurunan emisi. Namun, RUU ini tidak boleh menjadi celah bagi solusi palsu seperti gasifikasi batu bara, co-firing, atau proyek berbasis fosil yang menyamar sebagai “energi baru”. Skema-skema tersebut hanya memperpanjang umur industri kotor dan menghambat transisi energi sejati.
Narahubung:
Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, +62 811-8188-182
Rahma Shofiana – Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 811-1461-674