Launch of the Photo Book "Paradise Silenced" in Jakarta. © Dhemas Reviyanto / Greenpeace
Suasana acara bincang-bincang “Seperti Apa Masa Depan Papua?” yang merupakan bagian dari pameran “Surga yang Dibisukan” di Kala di Kalijaga, Jakarta, Senin (11/8). Greenpeace Indonesia menggelar pameran foto dan peluncuran buku foto berjudul “Surga yang Dibisukan” sebagai bagian dari upaya mendokumentasikan ketangguhan Masyarakat Adat Papua dan perjalanan kampanye sejak tahun 2005. © Dhemas Reviyanto / Greenpeace

Jakarta, 12 Agustus 2025. Greenpeace Indonesia menggelar peluncuran buku foto Surga yang Dibisukan di KALA di Kalijaga, Jakarta Selatan. Dalam momentum Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia yang dirayakan setiap 9 Agustus, acara peluncuran buku foto ini menjadi ruang bagi sejumlah Masyarakat Adat Papua dan publik untuk mendiskusikan Papua kini, dulu, dan yang akan datang. 

Hadir dalam diskusi ini yakni Maria Amote, perempuan muda adat dari suku Wambon; Enrico Kondologit, antropolog asal Papua; Frengki Albert Saa, Koordinator Bidang Riset dan Inovasi Badan Perencanaan Pembangunan, Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida) Provinsi Papua Barat Daya; dan Widhi Handoyo, Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor Kementerian Lingkungan Hidup.

Dalam kesempatan ini, Maria menceritakan kegelisahannya sebagai anak muda adat Papua. Dengan ancaman kerusakan alam yang kian menajam, ia khawatir identitas adat Papua akan perlahan menghilang ditelan waktu. “Orang tua saya tidak mewariskan harta, mereka hanya mewariskan hutan bagi saya. Kalau sudah tidak ada lagi hutan adat, saya tidak bisa lagi disebut sebagai perempuan adat. Lalu, bagaimana nanti dengan anak cucu saya?” ujar Maria.

Dua dekade bekerja di Tanah Papua, Greenpeace menemukan berbagai cerita. Tak hanya kisah tentang keindahan alam yang masih asri terjaga, kerja-kerja Greenpeace di Tanah Papua juga menjadi saksi ketangguhan Masyarakat Adat. Kendati demikian, ancaman kerusakan, terutama dari industri ekstraktif, masih menjadi momok yang menghantui Tanah Papua.

“Kami menyaksikan bagaimana alam Papua yang sebelumnya utuh dan tidak tersentuh, perlahan terancam oleh deforestasi yang semakin nyata dan mengkhawatirkan. Di sisi lain, kami juga mendokumentasikan cara hidup Masyarakat Adat di Papua yang telah menjaga kelestarian alam Papua. Semua yang ada di Tanah Papua, yang disebut surga kecil jatuh ke Bumi itu, bisa hilang jika tidak dijaga betul-betul. Menjaga Tanah Papua menjadi tanggung jawab kolektif berbagai pihak,” terang Kiki Taufik, Kepala Kampanye Global Greenpeace untuk Hutan Indonesia.

Ajakan untuk memperjuangkan masa depan Tanah Papua sebagai tanggung jawab kolektif juga disampaikan oleh Frengky Albert Saa, Kepala Bidang Riset dan Inovasi Daerah Bapperida Papua Barat Daya. “Kami akan bergandeng tangan dengan teman-teman mitra pembangunan dan organisasi masyarakat sipil, seperti Greenpeace. Janganlah kita alergi berkolaborasi,” ujar Frengky.

Mewakili Kementerian Lingkungan Hidup, Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor, Widhi Handoyo, menyampaikan pentingnya kolaborasi untuk mencari solusi bagaimana melindungi lingkungan hidup sembari mengembangkan potensi yang menjadi kekuatan utama di Tanah Papua. Ia mencontohkan kawasan Raja Ampat yang secara tata ruang memiliki fungsi lindung hingga lebih dari 70 persen. “Bayangkan jika satu wilayah saja memiliki fungsi lindung sedemikian besar, artinya prioritas pengembangan wilayahnya harus berbasis kondisi di lapangan, misalnya dengan sektor perikanan dan pariwisata yang menjadi fokusnya sesuai dengan potensi utama yang dimiliki,” ujar Widhi.

Launch of the Photo Book "Paradise Silenced" in Jakarta. © Dhemas Reviyanto / Greenpeace
Pameran “Surga yang Dibisukan” di Kala di Kalijaga, Jakarta, Senin (11/8). Greenpeace Indonesia menggelar pameran foto dan peluncuran buku berjudul “Surga yang Dibisukan” sebagai bagian dari upaya mendokumentasikan ketangguhan Masyarakat Adat Papua dan perjalanan kampanye sejak 2005. © Dhemas Reviyanto / Greenpeace

Buku foto Surga yang Dibisukan memuat empat segmen yang merangkum aspek kehidupan Masyarakat Adat dan komunitas lokal di Tanah Papua. Mulai dari cerita tentang budaya dan keseharian Masyarakat Adat, visual kekayaan biodiversitas yang khas, hingga ancaman kerusakan lingkungan yang mengintai Tanah Papua dan dokumentasi praktik baik dari upaya membangun solusi untuk masa depan Tanah Papua. Beberapa foto pilihan dipamerkan di area peluncuran.

Sebagai seorang antropolog, Enrico menyatakan bahwa keragaman perspektif yang ditampilkan dalam buku Surga yang Dibisukan ini tidak hanya penting untuk orang yang ada di luar Papua, tapi juga penting bagi orang Papua. “Antropologi visual, seperti yang coba dilakukan dalam buku foto ini, adalah salah satu jawaban untuk memberikan informasi pada Masyarakat Papua agar kami bisa mengambil langkah kongkrit untuk masa depan Papua,” kata Enrico.

Tak hanya pameran, penampilan musik dari grup musisi asal Papua, Sunrise West Papua, dan grup musik Navicula turut meramaikan semarak peluncuran buku foto Surga yang Dibisukan. Sore itu, Navicula membawakan lagu baru mereka bertajuk “Papua” yang diciptakan sebagai persembahan bagi tanah serta masyarakat Papua.

Sunrise West Papua Performed at The "Silenced Paradise" Exhibition in Jakarta. © Dhemas Reviyanto / Greenpeace
Sunrise West Papua tampil di pameran “Surga yang Dibisukan” yang digelar di Kala, Kalijaga, Jakarta, Senin (11/8). Greenpeace Indonesia menggelar pameran foto dan peluncuran buku berjudul “Surga yang Dibisukan” sebagai bagian dari upaya mendokumentasikan ketangguhan Masyarakat Adat Papua dan perjalanan kampanyenya sejak 2005. © Dhemas Reviyanto / Greenpeace
Navicula Performed at "Paradise Silenced" Photo Book in Jakarta. © Dhemas Reviyanto / Greenpeace
Navicula tampil di pameran “Surga yang Dibisukan” yang digelar di Kala, Kalijaga, Jakarta, Senin (11/8). Greenpeace Indonesia menggelar pameran foto dan peluncuran buku berjudul “Surga yang Dibisukan” sebagai bagian dari upaya mendokumentasikan ketangguhan Masyarakat Adat Papua dan perjalanan kampanyenya sejak 2005. © Dhemas Reviyanto / Greenpeace

Peluncuran buku foto Surga yang Dibisukan diharapkan dapat menjadi gerbang awal untuk membuka ruang-ruang baru diskusi tentang masa depan Papua. Terkait aspirasinya untuk masa depan Papua, Maria berharap, “Menteri Lingkungan Hidup mungkin bisa melihat apa yang menjadi hak dan harapan dari Masyarakat Adat. Bagi kami, hutan adalah ibu. Jati diri kami adalah kami lahir dan tumbuh di tanah kami. Kami minta dari pemerintah untuk melihat dan membantu kami masyarakat.”

The "Paradise Silenced" exhibition. © Dhemas Reviyanto / Greenpeace
Kepala Kampanye Global Hutan Indonesia , Kiki Taufik, dan anggota DPR RI, Rieke Diah Pitaloka mengunjungi pameran foto “Surga yang Dibisukan” di Kala di Kalijaga, Jakarta, Indonesia. © Dhemas Reviyanto / Greenpeace

Catatan Editor:

Foto dan video dapat diunduh di tautan berikut: https://media.greenpeace.org/shoot/27MZIFJRT2U6A 

Kontak Media:

Amos Sumbung, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, +62811486327

Agnes Alvionita, Tim Komunikasi Greenpeace Indonesia, +62-858-1028-8575