Jakarta, 15 Agustus 2025 – Pidato kenegaraan dan nota keuangan Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, menjelang perayaan 80 tahun Indonesia merdeka, masih jauh dari makna kemerdekaan sejati.
Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menonjolkan berbagai klaim pencapaian ekonomi. Namun, narasi tersebut tidak mencerminkan kenyataan di lapangan. Pertumbuhan ekonomi yang disebut 5,12% per-tahun hanya dinikmati oleh segelintir kelompok, sementara pemerataan ekonomi berjalan lambat. Klaim penurunan angka kemiskinan juga dipertanyakan, karena pemerintah menggunakan batas kemiskinan jauh di bawah standar Bank Dunia.
“Klaim Presiden terkait meningkatnya kesejahteraan masyarakat selama satu tahun kepemimpinan merupakan pernyataan yang tidak berdasar. Pertumbuhan ekonomi pada kenyataannya tidak dirasakan oleh masyarakat, terutama mereka yang paling terdampak krisis iklim,” kata Juru Kampanye Keadilan Iklim, Jeanny Sirait.
Sekitar 5 dari 10 orang Indonesia telah merasakan dampak perubahan iklim secara signifikan dalam kehidupan mereka, melampaui persentase responden yang mengalami dampak serupa di negara-negara di belahan bumi utara. Sayangnya, kelompok paling terdampak krisis iklim ini bahkan tidak masuk dalam radar pidato kenegaraan Prabowo. Masyarakat adat dan komunitas lokal yang menjadi garda terdepan dalam upaya penanggulangan krisis iklim, tidak diidentifikasi sebagai komponen penting dalam penyelenggaraan negara.
“Padahal selama ini, masyarakat adat dan komunitas lokal dalam praktik kehidupan sudah menjaga hutan, tanah dan air Indonesia, hal tersebut adalah praktik konkret solusi terhadap krisis iklim yang seharusnya diadopsi oleh negara sebagai bentuk keseriusan pemerintah. Jangankan dilibatkan, diakui keberadaannya pun tidak” jelas Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia
Sementara itu, pemerintah telah melewatkan peluang besar untuk membangun ekonomi yang lebih adil dan ramah lingkungan. Instrumen fiskal seperti pajak progresif bagi industri perusak lingkungan, misalnya melalui skema pajak karbon dan pajak laba ekstra (windfall tax), serta pajak terhadap kelompok superkaya di Indonesia, seharusnya bisa menjadi sumber pendanaan penting, daripada terus membebani kelas menengah dengan pajak tambahan.
Potensi keuangan syariah juga dapat dioptimalkan untuk mendukung program transisi energi dan pemberdayaan rakyat. Sayangnya, semua peluang ini hingga kini belum dimanfaatkan secara maksimal.
Kontradiksi dalam Pidato Nota Keuangan
Presiden Prabowo Subianto menyatakan ambisi untuk mencapai 100% pembangkit listrik energi baru terbarukan dalam waktu 10 tahun. Namun, fakta di lapangan menunjukkan arah kebijakan yang justru berseberangan. Berdasarkan RUPTL, pada 2034 porsi energi terbarukan di sektor kelistrikan Indonesia diproyeksikan hanya 29%, masih jauh dari target penuh pada 2035.
Lebih ironis lagi, di lima tahun pertama RUPTL, justru terjadi penambahan masif Pembangkit Listrik Tenaga Gas sebesar 10,3 GW. Langkah ini berpotensi mengunci sistem kelistrikan pada infrastruktur berbasis fosil, mempersempit ruang bagi energi terbarukan untuk berkembang, dan pada akhirnya menghambat pencapaian visi Presiden sendiri.
Jika pemerintah serius dengan transisi energi, arah pembangunan harus segera dibalik: fokus total pada pembangkit energi terbarukan, sekaligus menghentikan rencana pembangunan baru berbasis fosil, baik batubara maupun gas. Tanpa langkah tegas ini, ambisi 100% EBT hanya akan menjadi slogan tanpa realisasi.
“Ambisi 100% energi baru terbarukan akan sulit tercapai jika pemerintah masih membuka jalan bagi pembangunan pembangkit berbasis fosil. Padahal, untuk mengejar ambisi ini, pemerintah harus segera fokus pada pembangunan pembangkit listrik terbarukan” papar Iqbal Damanik, Manager Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Di tengah krisis iklim, Indonesia merayakan HUT Kemerdekaan dalam ancaman hujan ekstrem yang harusnya tak lagi hadir di Agustus. Greenpeace mendorong pemerintah menempatkan keadilan iklim sebagai landasan utama kebijakan ekonomi dan pembangunan nasional. Keadilan iklim berarti memastikan setiap orang dapat menikmati kemerdekaan sejati, kemerdekaan untuk hidup layak tanpa takut kehilangan tanah, udara bersih, atau sumber air akibat eksploitasi. Prinsip ini menuntut perlindungan hutan, lautan, dan masyarakat adat sebagai prioritas, sekaligus menjamin transisi energi yang adil bagi semua.
Bagi Greenpeace, keadilan iklim bukan sekadar soal mengurangi emisi, tetapi juga memastikan kelompok rentan tidak menjadi korban kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir elit ekonomi. Partisipasi bermakna menjadi kunci dalam menciptakan keadilan iklim. Setiap langkah menuju energi bersih harus memperkuat perlindungan hak hidup rakyat dan menjamin masa depan yang aman bagi generasi mendatang. Ini adalah langkah tepat jika pemerintah serius untuk mewujudkan tema kemerdekaan tahun ini yaitu “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”.
“Pada akhirnya, pidato kenegaraan dan RAPBN 2026 yang disampaikan Presiden Prabowo penuh kontradiksi, khususnya terkait kebijakan ekonomi dan politik nasional maupun global. Kontradiksi ini tidak lepas dari lingkar inti pemerintahan Prabowo–Gibran yang saat ini memegang kendali penuh atas kekuasaan,” pungkas Jeanny.
Narahubung:
Rahka Susanto – Juru Kampanye Komunikasi Greenpeace Indonesia (08111098815)