Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran berjalan, Indonesia masih menghadapi kesenjangan besar dalam pembiayaan transisi energi dan aksi iklim. Di tengah ancaman krisis iklim yang semakin nyata, Greenpeace Indonesia menegaskan perlunya terobosan pembiayaan hijau yang berbasis nilai dan keadilan sosial, salah satunya melalui wakaf hijau (green waqf).
Pernyataan ini disampaikan dalam peluncuran Policy Brief “Pengembangan Wakaf Hijau sebagai Alternatif Instrumen Pendanaan Iklim di Indonesia”, hasil kajian kolaboratif antara Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (PEBS FEB UI) bersama Greenpeace Indonesia pada Selasa (21/10/ 22025). Acara bertajuk “From Endowment to Environment: Empowering Waqf for Climate Action and Resilience” ini menghadirkan regulator, akademisi, pelaku industri keuangan syariah, lembaga wakaf, serta organisasi masyarakat sipil seperti Greenpeace Indonesia.
Kesenjangan Pendanaan Iklim Masih Menganga
Menurut data Climate Policy Initiative (2024), Indonesia membutuhkan investasi sekitar USD 285 miliar hingga 2030 untuk mencapai target iklim nasional. Namun, kemampuan pembiayaan domestik masih jauh dari kebutuhan. Di tengah situasi ini, Greenpeace menilai pemerintah perlu lebih serius mengintegrasikan sumber pembiayaan alternatif berbasis masyarakat dan keuangan Islam.
“Mitigasi dan adaptasi krisis iklim, terutama untuk transisi energi, membutuhkan komitmen pendanaan yang besar dan berkelanjutan. Instrumen seperti wakaf energi, wakaf air bersih, hingga wakaf hutan bisa menjadi model nyata bagaimana keuangan Islam berkontribusi pada keadilan ekologis,” ujar Rahma Shofiana, Ummah for Earth Project Lead, Greenpeace Indonesia.
Rahma menekankan bahwa sistem blended finance, yang menggabungkan pembiayaan konvensional dan keuangan Islam, dapat menjadi jembatan strategis untuk mendanai proyek-proyek hijau di Indonesia. Ia juga menyerukan agar pemerintah menjadikan blended finance sebagai pilar utama pendanaan iklim nasional, bukan sekadar tambahan.
Sementara itu, Rahmatina Awaliah Kasri, Ph.D., Kepala PEBS FEB UI, menegaskan bahwa kajian ini menekankan pentingnya wakaf sebagai instrumen keuangan sosial Islam yang dapat berperan strategis dalam menjembatani kesenjangan pendanaan untuk mencapai target penurunan emisi dan adaptasi iklim Indonesia.
“Dengan potensi ekonomi wakaf mencapai Rp400 triliun per tahun, wakaf hijau mampu menjadi sumber pembiayaan alternatif yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan finansial, tetapi juga membawa manfaat sosial dan ekologis, tutur Rahmatina.
Lebih lanjut, Rahmatina menyoroti bahwa pengembangan wakaf hijau di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari rendahnya literasi wakaf dan wakaf hijau, keterbatasan implementasi proyek berskala nasional, dan masih lemahnya tata kelola lembaga pengelola wakaf yang belum sepenuhnya menerapkan prinsip Waqf Core Principles (WCP). Selain itu, akses pendanaan yang terbatas serta minimnya kolaborasi lintas sektor juga menjadi kendala dalam memperluas dampak program wakaf hijau.
Dari Gagasan ke Implementasi Nyata
Policy brief yang diluncurkan PEBS FEB UI dan Greenpeace Indonesia menyoroti potensi ekonomi wakaf yang mencapai Rp400 triliun per tahun, namun hingga kini sebagian besar aset wakaf masih tidak produktif. Melalui model green waqf, aset tersebut dapat dioptimalkan untuk proyek reforestasi, energi terbarukan, konservasi sumber daya air, dan pertanian berkelanjutan.
“Wakaf bukan semata tentang produktivitas atau keuntungan ekonomi, tetapi tentang kebermanfaatan bagi umat dan bumi. Konsep green waqf menghidupkan kembali semangat wakaf sebagai sumber keberkahan yang melindungi kehidupan,” ujar Rahma.
Greenpeace menilai, inisiatif seperti Hutan Wakaf Bogor, wakaf energi surya, dan wakaf air bersih untuk pertanian organik merupakan contoh nyata bagaimana nilai spiritual dapat berpadu dengan aksi iklim berbasis komunitas. Dari kacamata pegiat wakaf, Dr. Banu Muhammad, Pendiri Yayasan Wakaf Produktif Indonesia sekaligus Peneliti Senior PEBS FEB UI, menyoroti urgensi transformasi pengelolaan wakaf nasional agar lebih produktif dan berorientasi keberlanjutan melalui konsep green waqf. Ia memaparkan bahwa hingga 90% aset wakaf tergolong tidak produktif.
Model Public–Private–Waqf Partnership (PPWP) yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan lembaga pengelola wakaf juga perlu dikembangkan untuk memperluas dampak sosial-ekonomi dari pembiayaan hijau yang inklusif,” tambah Banu.
Dalam sambutannya melalui video, Dr. Eddy Soeparno, Wakil Ketua MPR RI dan Anggota Komisi XII DPR RI, secara khusus mengajak para pelaku pembiayaan syariah untuk berperan aktif mengembangkan produk pembiayaan bagi transisi energi dan pelestarian lingkungan. Ia menyoroti wakaf hijau sebagai salah satu instrumen penting yang dapat menjadi solusi inovatif dalam membiayai upaya penyelamatan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Sementara itu, Direktur Keuangan Sosial Syariah KNEKS, Dwi Irianti Hadiningdyah yang juga hadir dalam acara ini menekankan bahwa inisiatif wakaf hijau perlu masuk ke dalam agenda prioritas keuangan berkelanjutan nasional.
“Inisiatif ini harus didukung oleh regulasi yang jelas terkait tata kelola dan insentif, serta diterjemahkan ke dalam proyek nyata di tingkat komunitas agar green waqf bergerak dari gagasan menjadi implementasi nyata,” kata Dwi.
Dwi juga menegaskan bahwa green waqf harus dipromosikan sebagai bagian dari diplomasi iklim Islam Indonesia di kancah global, mencerminkan kepemimpinan Indonesia dalam keuangan syariah yang inklusif dan berkelanjutan.
Tanggung Jawab Negara di Tengah Krisis Iklim
Dalam konteks satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran, Greenpeace menilai pemerintah masih berfokus pada proyek-proyek energi fosil dan ekspansi industri ekstraktif yang justru memperparah krisis iklim. Padahal, solusi keuangan berkelanjutan seperti wakaf hijau justru membuka peluang besar untuk menciptakan lapangan kerja hijau dan memperkuat ketahanan sosial-ekologis.
“Selama ini pemerintah selalu menekankan bahwa transisi energi mahal. Padahal, dengan mengoptimalkan potensi keuangan Islam, kita tidak hanya membiayai transisi, tetapi juga menggeser ekonomi nasional dari sektor ekstraktif ke sektor berkelanjutan,”
tegas Rahma Shofiana.
Policy Brief ini merekomendasikan langkah-langkah strategis berupa penguatan dukungan dan harmonisasi regulasi, penguatan tata kelola lembaga, pengembangan sumber daya manusia dan riset (research and development), perumusan strategi nasional literasi wakaf hijau, penguatan implementasi wakaf hijau, optimalisasi dan inovasi model pendanaan wakaf hijau, dan penguatan ekosistem dan kolaborasi multi-pihak. Rahmatina menekankan bahwa sinergi kebijakan, tata kelola yang baik, serta kolaborasi lintas aktor berbasis model pentahelix antara pemerintah, akademisi, industri, masyarakat, dan media akan menjadi kunci dalam mempercepat transformasi wakaf hijau sebagai instrumen keuangan sosial yang berkontribusi nyata terhadap agenda pembangunan berkelanjutan dan transisi menuju ekonomi hijau Indonesia.
***
Dokumen Policy Brief: act.gp/wakafhijau
Lebih lanjut hubungi:
Rahma Shofiana – 08111461674


