
Belém/Jakarta, 23 November 2025. Konferensi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa COP30 berakhir tanpa peta jalan yang nyata untuk mengakhiri penggunaan energi fosil (transitioning away from fossil fuel roadmap) dan menghentikan deforestasi (halting and reverse deforestation roadmap), serta peningkatan pendanaan untuk aksi iklim. Akibat sikap negara-negara yang terbelah di meja perundingan, COP30 tak membuahkan hasil yang diharapkan.
Sejak awal COP30, Greenpeace mendorong kesepakatan tentang rencana aksi untuk menghentikan deforestasi selambat-lambatnya pada 2030 (Forest Action Plan); adanya rencana respons global (Global Response Plan) untuk menjembatani kesenjangan ambisi 1,5°C; dan pendanaan iklim, salah satunya lewat mekanisme pencemar membayar (Make Polluters Pay). Desakan tersebut juga banyak disuarakan publik, termasuk Masyarakat Adat dan berbagai kelompok lainnya, yang turun ke jalan-jalan di Belém dalam Climate March dan Indigenous Peoples’ March.
Namun, konferensi iklim pertama di hutan Amazon ini gagal menghasilkan tiga hal tersebut. Teks kesepakatan yang lemah diketok pada Sabtu siang waktu Belém, dalam rapat pleno yang diwarnai penolakan dari Kolombia dan sejumlah negara Amerika Latin terhadap minimnya progres mitigasi iklim.
Direktur Eksekutif Greenpeace Brasil, Carolina Pasquali, mengatakan, “Presiden Lula memasang standar tinggi dengan menyerukan pentingnya peta jalan untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan deforestasi, tapi lanskap multilateral yang terbelah merintangi hal tersebut. Kita berada di persimpangan jalan, di antara menahan laju kenaikan suhu Bumi di bawah 1,5°C dan jalan tol menuju bencana iklim yang katastrofik. Kendati banyak negara yang mau mengambil aksi nyata, ada segelintir negara dengan kekuatan besar yang menghambat.”
Menurut Carolina, hasil yang lemah ini tak adil mengingat apa yang sudah terjadi di Belém dalam dua pekan terakhir. COP30 berlangsung dengan partisipasi yang signifikan dari Masyarakat Adat. Perjuangan tersebut bahkan berbuah kebijakan demarkasi yang mengamankan 2,4 juta hektare tanah Masyarakat Adat di Brasil. “Lahirnya peta jalan untuk menghentikan energi fosil dan deforestasi, serta dukungan pendanaan, sebenarnya akan menjadi hasil yang bersejarah. Namun, perjuangan ini akan terus berlanjut,” ujarnya.

Bagi publik di Indonesia, COP30 menjadi momen yang kian menunjukkan betapa buruknya komitmen iklim pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Selain ambisi Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang tak memadai, dalam proses negosiasi pun pemerintah Indonesia tak menunjukkan langkah progresif–seperti lebih dari 80 negara yang mendesak adanya peta jalan untuk meninggalkan energi fosil.
“Sebagai negara besar seperti yang sering dibilang Presiden Prabowo, Indonesia bukannya ikut tampil dengan komitmen iklim yang ambisius dibarengi dengan diplomasi dukungan pendanaan iklim sesungguhnya dari negara maju dan transisi yang berkeadilan, tetapi malah lebih fokus berjualan karbon di paviliun–yang keberadaannya disponsori berbagai perusahaan pencemar. Ini seperti membuang muka dari penderitaan masyarakat di Tanah Air yang menanggung dampak krisis iklim dan kerusakan lingkungan hidup akibat aktivitas industri pencemar tersebut,” kata Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia.
Reputasi Indonesia turut disorot pula setelah dinobatkan sebagai “Fossil of the Day” pada 15 November lalu oleh Climate Action Network (CAN)—jejaring yang beranggotakan 1.900 organisasi masyarakat sipil sedunia. “Pemerintah Indonesia semestinya tak menganggap penyematan “Fossil of the Day” itu sebagai angin lalu, tapi berbenah dan bergerak untuk keluar dari jebakan industri fosil. Salah satunya dengan mengakhiri penggunaan batu bara, sebab tanpa itu komitmen transisi energi Indonesia akan sia-sia,” ucap Iqbal Damanik, Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Teks terakhir dari COP30 juga tak memuat kesepakatan untuk menghentikan deforestasi demi mencapai target aksi iklim melalui pelindungan hutan serta keanekaragaman hayatinya. Ketua Tim Politik untuk Kampanye Solusi Hutan Global Greenpeace, Rayhan Dudayev, mengatakan, sebenarnya sempat ada upaya dari sejumlah negara hutan hujan tropis untuk memasukkan ketentuan untuk menyetop pembabatan hutan dalam kesepakatan, tetapi Indonesia tidak terlihat aktif memperkuat inisiatif tersebut.
“Sikap Indonesia di meja perundingan dan hasil dari konferensi iklim ini menjadi kabar mengecewakan bagi Masyarakat Adat yang berjuang menjaga hutan dari penghancuran oleh industri maupun atas nama proyek pemerintah. Seperti yang saat ini sedang terjadi di Tanah Papua, Masyarakat Adat Yei-Nan dan Malind di Merauke tengah berjibaku mempertahankan tanah dan hutan adat mereka dari proyek tebu dan cetak sawah,” ujar Rayhan. “COP30 telah berakhir, tetapi perlawanan kita tak akan berhenti. Publik perlu terus mendukung perjuangan Masyarakat Adat dalam melindungi hutan, serta mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.” [SELESAI]
Catatan Editor:
Foto dan video dokumentasi COP30 dapat diakses di tautan berikut.
Media Kontak:
Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, +62 811-9696-217
Budiarti Putri, Juru Kampanye Komunikasi Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105


