W20 Giant Banner Action in Lake Toba. © Rivan Hanggarai / Greenpeace
Greenpeace Indonesia bersama KSPPM–organisasi masyarakat sipil di Sumatera Utara–menggelar aksi bentang banner di Danau Toba, bertepatan dengan konferensi W20. Aksi damai ini merupakan bentuk dukungan Greenpeace dan KSPPM untuk perempuan adat yang menjaga hutan adat mereka yang dihancurkan oleh PT Toba Pulp Lestari.
© Rivan Hanggarai / Greenpeace

Jakarta, 2 Desember 2025. Greenpeace Indonesia turut berduka atas peristiwa banjir besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang merenggut nyawa lebih dari 600 orang, membuat ratusan orang hilang, dan ratusan ribu orang mengungsi. Melihat besarnya skala dampak yang terjadi hingga saat ini, Greenpeace mendukung desakan sejumlah pihak agar pemerintah segera menetapkan peristiwa banjir di Pulau Sumatera ini sebagai status darurat bencana nasional, serta mengerahkan penanggulangan bencana dengan cepat dan tepat. 

“Peristiwa banjir besar yang melanda Sumatera ini seharusnya menjadi pengingat terakhir bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membenahi kebijakan pengelolaan hutan dan lingkungan hidup serta komitmen iklim secara total. Banjir besar tersebut menandakan dua hal: dampak krisis iklim yang tak bisa lagi dihindari dan perusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi menahun,” kata Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Dampak krisis iklim terlihat dari cuaca yang kian ekstrem, termasuk hujan lebat yang diperparah dengan terjadinya siklon tropis Senyar pada 25-27 November 2025 di Selat Malaka.[1] Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), lewatnya siklon tropis Senyar di Selat Malaka, bahkan hingga ke daratan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat ini bukan fenomena umum mengingat posisi Indonesia di dekat garis ekuator.

“Hujan ekstrem akan terus mengintai kita sebagai dampak dari krisis iklim. Sebagai negara kepulauan yang rawan terhadap bencana, dampak krisis iklim bukan hanya angka, tapi juga mengancam nyawa. Harus ada tindakan dan target iklim yang ambisius. Pemerintah tak bisa lagi mengandalkan upaya mitigasi dan adaptasi yang hanya terpampang di atas kertas, dan tidak boleh ada lagi solusi palsu dalam kebijakan iklim nasional. Sekarang waktu yang tepat untuk memperbaiki arah kebijakan nasional agar tidak lagi berpihak pada segelintir orang, tapi kelayakan bagi semua orang,” kata Iqbal Damanik, Manager Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Faktor kedua yang memicu besarnya dampak banjir Sumatera yakni perusakan hutan dan alih fungsi lahan, termasuk di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS). Analisis Greenpeace dengan merujuk data Kementerian Kehutanan menemukan, dalam kurun 1990-2024, banyak hutan alam di Provinsi Sumatera Utara beralih fungsi menjadi perkebunan, pertanian lahan kering, dan hutan tanaman. Situasi serupa terjadi di Aceh dan Sumatera Barat.

Peneliti senior Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda Proklamasi, mengatakan, “Mayoritas DAS di Pulau Sumatera telah kritis–dengan tutupan hutan alam kini kurang dari 25 persen. Sedangkan secara keseluruhan kini tinggal 10-14 juta hektare hutan alam atau kurang dari 30 persen luas Pulau Sumatera yang 47 juta hektare.”

Salah satu DAS yang rusak parah ialah DAS Batang Toru yang meliputi Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah. Salah satu bentang hutan tropis terakhir di Sumatera Utara ini juga dibebani berbagai macam perizinan untuk industri rakus lahan–termasuk PLTA Batang Toru–yang lantas membabat hutan, juga menggusur habitat orang utan Tapanuli. Berikut hasil analisis Greenpeace tentang kawasan hutan di area DAS Batang Toru:

  • Selama periode 1990-2022, telah terjadi deforestasi seluas 70 ribu hektare atau 21 persen dari luas DAS. Kini luas hutan alam yang tersisa sebesar 167 ribu hektare atau 49 persen dari luas DAS.
  • Areal perizinan berbasis lahan dan ekstraktif secara keseluruhan seluas 94 ribu hektare atau 28 persen. Sebagian besar berupa perizinan berusaha pemanfaatan hutan, wilayah izin usaha pertambangan, dan perkebunan kelapa sawit. 
  • Total potensi erosi saban tahun sebesar 31,6 juta ton. Sekitar 56 persen berasal dari areal rawan erosi >180 ton/hektare/tahun. 
  • Bagian hulu sudah beralih fungsi menjadi pertanian kering, sedangkan hilirnya beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan industri bubur kertas. Hutan alamnya hanya berada di bagian tengah DAS.

Pemerintah Indonesia harus serius membenahi kebijakan tata kelola lahan dan hutan secara menyeluruh demi menyelamatkan ekosistem dan masyarakat dari tragedi bencana iklim. Dengan krisis iklim yang kian parah, hutan yang rusak dan daya dukung lingkungan yang sudah menurun drastis hanya akan membuat kita makin porak-poranda tatkala terjadi cuaca ekstrem. 

“Pemerintah harus mengakui bahwa mereka telah salah dalam tata kelola hutan dan lahan. Akibatnya hutan Sumatera hampir habis, terjadi degradasi lingkungan parah, dan kini masyarakat Sumatera harus menanggung harga yang amat mahal dari bencana ekologis ini. Prabowo dan beberapa menterinya memang sudah menyinggung soal deforestasi, tapi mereka seolah mengesankan bahwa kerusakan hutan di Sumatera terjadi karena penebangan liar. Padahal selain penebangan liar, deforestasi masif terjadi karena dilegalkan pula oleh negara dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya,” kata Arie Rompas

“Selain mengevaluasi izin-izin di Sumatera, pemerintah juga harus berhenti merusak hutan di wilayah lain, seperti Papua. Hentikan perusakan hutan yang terjadi di Raja Ampat dan pulau-pulau kecil lainnya yang dibebani tambang nikel, juga deforestasi di Merauke demi ambisi swasembada energi dan pangan yang salah kaprah. Pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen yang dicita-citakan Prabowo tak akan tercapai jika lingkungan rusak dan bencana iklim terus mengintai kita.”

Catatan:

[1] Laporan Khusus PBB (IPCC) tentang Pemanasan Global 1,5°C menyatakan bahwa bahkan peningkatan kecil dalam pemanasan global (+0,5°C) saja dapat menyebabkan perubahan ekstrem yang signifikan secara statistik pada skala global. Secara khusus, hal ini terjadi pada ekstrem suhu serta intensifikasi hujan lebat, termasuk yang terkait dengan siklon tropis.

Kontak Media:

Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, +62 811-5200-822

Budiarti Putri, Juru Kampanye Komunikasi Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105