Jakarta, 15 Desember 2025 – Jakarta resmi dinobatkan sebagai megacity terbesar dan terpadat di dunia oleh PBB, melampaui Tokyo dengan populasi fantastis mencapai 42 juta jiwa. Namun di balik status tersebut, terdapat kenyataan yang jauh lebih sunyi: warga paling rentan justru menanggung dampak terberat dari krisis iklim, ketidakpastian ruang hidup, dan kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak pada mereka.

Untuk melihat lebih dekat realitas ini, Greenpeace Indonesia bersama The SMERU Research Institute merilis riset terbaru mengenai kondisi warga di tiga wilayah yaitu Bantar Gebang, Marunda, dan Pulau Pari. Tiga wilayah ini menjadi cermin kontras megacity: kota yang terus membesar, sementara ruang aman bagi sebagian warganya semakin mengecil. Ketiga lokasi dipilih karena karakteristiknya yang merepresentasikan spektrum kerentanan terhadap krisis iklim, lingkungan, dan sosial-ekonomi sehingga memberikan gambaran yang komprehensif mengenai variasi tantangan yang dihadapi masyarakat perkotaan, khususnya di kawasan Jakarta.

Jeanny Sirait, Juru Kampanye Keadilan Iklim Greenpeace Indonesia mengatakan, ketiga wilayah ini menghadapi masalah yang hampir serupa, di antaranya dominasi kepentingan ekonomi besar atas ruang hidup warganya, serta lemahnya tata kelola dan layanan dasar dari Pemerintah Provinsi Jakarta yang belum optimal. 

“Masalah-masalah ini pun diperparah dengan krisis iklim dan lingkungan yang memperburuk kerentanan sosial dan ekonomi warga di ketiga wilayah ini,” ujarnya dalam Konferensi Pers Solusi Iklim Berbasis Komunitas.

Di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, misalnya, krisis iklim memicu abrasi dan menggerus 7 hingga 10 meter garis pantai. Di sisi lain, warga Rusunawa Marunda, Jakarta Utara, masih harus menanggung efek domino dari pencemaran udara yang ditimbulkan dari aktivitas industri ekstraktif besar yang mengepung kawasan permukiman tersebut. Sementara di Bantar Gebang, meski secara administratif tidak berada di wilayah Jakarta, namun volume sampah dari Jakarta yang terus meningkat semakin memperburuk kondisi lingkungan dan kehidupan warga sekitar, termasuk pemulung, yang tinggal di sekitar Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang. 

“Krisis iklim dan lingkungan yang terjadi di ketiga wilayah ini pun semakin memperburuk kondisi sosial dan ekonomi warga yang jadi kelompok rentan akibat kemiskinan struktural serta minimnya partisipasi warga dalam kebijakan iklim dan perkotaan dari Pemprov Jakarta,” sambung Jeanny. 

Reduce, Reuse, Recycle (R3) garbage dump near Bantargebang area, Bekasi West Java. Bantargebang Landfill in Bekasi, Indonesia, is often described as the largest open-dumping landfill in Southeast Asia and one of the world’s biggest, serving Jakarta with massive daily waste intake and becoming a vast, populated waste mountain. As a center for government and economic activity, Jakarta has always been grappling with millions of problems. Traffic and public transportation may have become the city’s most infamous problems, but the city also grapples with other issues including jobs, waste, and now, the climate crisis. The local government tries to address most of those issues, but many are still left unsolved and even neglected. The Jakarta administration’s effort to “solve” its waste problem by dumping it in Bantargebang landfill, Bekasi, West Java, is still inadequate and largely ignored the scavengers’ contribution. Bantargebang scavengers were not recognized for their work to handle Jakarta waste problems.
© Jurnasyanto Sukarno / Greenpe

Meski kerap dilupakan dan dilibatkan dalam pembuatan kebijakan, warga Pulau Pari, Marunda, dan Bantar Gebang terus beradaptasi dengan mengembangkan solusi berbasis komunitas yang mampu menjawab kebutuhan lokal di daerah mereka. 

Warga Pulau Pari menginisiasi penanaman mangrove sebagai upaya untuk mengatasi abrasi, banjir rob, serta pemulihan habitat ikan dan ekosistem laut. Para nelayan juga melakukan adaptasi perikanan tangkap dan budidaya untuk mengatasi turunnya volume tangkapan di tengah suhu laut yang semakin tinggi. 

Sulitnya akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan mendorong warga Bantar Gebang untuk mendirikan pusat pendidikan khusus bagi anak pemulung. Di tengah timbunan sampah yang semakin menumpuk, warga Bantar Gebang yang mayoritas berprofesi sebagai pemulung juga memegang peran penting dalam memilah dan mengurangi volume sampah. Warga di sekitar TPST Bantar Gebang pun mengembangkan budidaya maggot untuk mengolah sampah organik, serta mengelola tempat pengelolaan sampah reduce, reuse, recycle (TPS3R) sebagai upaya pengelolaan sampah plastik dan material lain yang masih memiliki nilai ekonomi. 

Bagi warga Rusunawa Marunda yang mayoritas hidup di bawah garis kemiskinan, inisiasi program pengelolaan greenhouse untuk memenuhi kebutuhan pangan serta pemberdayaan ekonomi perempuan membantu memperkuat ketahanan ekonomi warga di tengah keterbatasan lapangan kerja dan kemiskinan struktural yang terjadi di Marunda. 

Marunda Flats residents hold banners at the field of Marunda Flats Cluster A building in Marunda, North Jakarta.As a center for government and economic activity, Jakarta has always been grappling with millions of problems. Traffic and public transportation may have become the city’s most infamous problems, but the city also grapples with other issues including jobs, waste, and now, the climate crisis. The local government tries to address most of those issues, but many are still left unsolved and even neglected. Outskirts area like Marunda, North Jakarta, have been left to their own devices to tackle their problems such as unemployment, housing, and air pollution due to coal dust from the nearby stockpile. Residents of Marunda Flats demanded the Jakarta government to provide an alternative and clean energy source, in which they have long been the victims of air pollution from the nearby coal-fired power plants.
© Jurnasyanto Sukarno / Greenpe

Peneliti SMERU Annabel Noor Asyah menambahkan, penelitian yang menggunakan pendekatan campuran dengan dominasi metode kualitatif ini juga menemukan perlunya reformasi struktural di tingkat pemerintah provinsi untuk mendorong adaptasi iklim, sosial, dan ekonomi di tiga lokasi tersebut. 

“Pemprov Jakarta harus meningkatkan kualitas tata kelola yang partisipatif dan transparan, khususnya dalam kebijakan iklim, untuk mengakomodasi kebutuhan dan karakteristik spesifik kelompok marjinal dan rentan seperti di Pulau Pari, Marunda, dan Bantargebang,” kata Abel. “Pemprov juga harus kembali menggiatkan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), memperbanyak dialog dengan warga, serta memperbanyak kajian krisis iklim.” 

Di samping itu, perlindungan sosial adaptif, penguatan layanan dasar yang memadai, dan transformasi kebijakan yang berpihak kepada komunitas perlu dilakukan untuk menjamin keberlangsungan berbagai inisiatif berbasis komunitas tersebut, baik di tingkat nasional maupun daerah. Peningkatan skala solusi berbasis komunitas juga dapat dilakukan dengan mengaplikasikannya di lokasi lain di Jakarta, bahkan wilayah lain di Indonesia untuk membantu masyarakat beradaptasi di tengah dampak krisis iklim yang semakin nyata.

Pari island villagers hold a protest in front of Marine Affairs and Fisheries Ministry building in Jakarta. They urge the Ministry to cancel the reclamation permit by companies in Pari Island.
© Jurnasyanto Sukarno / Greenpe

“Sayangnya,” sambung Jeanny, “berbagai solusi berbasis komunitas ini kerap diabaikan dan tidak mendapat dukungan sistemik dari Pemprov Jakarta. Padahal, ketahanan iklim serta manfaat sosial dan ekonomi, hanya dapat dicapai melalui kombinasi solusi komunitas dan dukungan regulasi yang kuat.” 

Jeanny juga menyoroti bahwa Pemprov DKI Jakarta telah memiliki rujukan kebijakan seperti Pergub No. 90 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon dan Perda No. 4 tahun 2019 tentang pelibatan masyarakat dalam berbagai tahapan pengolahan sampah. Namun, praktik kebijakan ini tidak berjalan optimal. Dukungan regulasi di tingkat nasional sangat dibutuhkan, RUU Keadilan Iklim yang saat ini masih terparkir di DPR perlu segera disahkan agar  pelibatan warga dalam mengatasi krisis iklim dapat dimaksimalkan. 

Baca laporan lengkapnya di sini: Solusi Krisis Iklim Berbasis Komunitas

Kontak Media:

Jeanny Sirait, Juru Kampanye Keadilan Iklim, Greenpeace Indonesia, +62 858-1042-3390

Riska Rahman, Communications Specialist, Greenpeace Indonesia, +62 821-1456-2039

Annabel Noor Asyah, Peneliti, The SMERU Research Institute, +62 821-1339-8119