Sudah sekitar tiga bulan lamanya, sebagian masyarakat Indonesia berada dalam situasi yang tidak biasa, sebagai imbas pandemi Covid-19. Tidak biasa itu: sebagian masyarakat bekerja dari rumah (work from home), tidak sedikit juga pekerja yang dirumahkan (atau di-PHK), dan cukup banyak pekerja informal yang merosot bahkan nirpenghasilan. Catatan pemerintah, sebanyak 3 juta orang di-PHK dari kantornya.

Beban perekonomian yang ditimbulkan oleh pandemi ini terasa sangat berat. Pemerintah memang menyalurkan bantuan sosial, tetapi menuai banyak kritikan. Basis data penduduk dianggap sudah lampau, persyaratan yang berbelit, penyaluran barang yang tidak merata, hingga solusi yang tak tepat sasaran. Alhasil, muncul banyak gerakan dari masyarakat sendiri untuk membantu sesamanya.

Di bawah projek Wings of Emergency, Greenpeace Brazil memproduksi 850 masker kain per hari untuk didistribusikan ke suku asli di Amazon demi mengurangi risiko dampak Covid-19. Greenpeace juga mengirimkan bantuan tenaga medis profesional, logistik, dan peralatan medis di daerah yang rentan tak tersentuh sistem bantuan kesehatan dan logistik dari Pemerintah. © Edmar Barros / Greenpeace

Kini, di bulan Juni, pemerintah kita dan juga banyak negara mulai melonggarkan kebijakan karantina, atau kita mengenalnya sebagai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Masyarakat sudah gerah ingin kembali beraktivitas seperti dahulu, pemerintah sudah gerah ingin menggulirkan kembali roda perekonomian. #NewNormal begitu gaung yang muncul belakangan ini.

Dunia tempat kita berpijak sebenarnya masih sama dengan segala problematikanya. Tapi pandemi ini telah memberikan kita waktu jeda yang cukup lama untuk mengingat apa yang sudah terjadi di masa prapandemi, untuk kemudian berbuat sesuatu yang lebih baik pascapandemi. Wadahnya sama, tapi harapannya ada pada manusia untuk bersikap lebih baik. 

Sikap seperti apa yg bisa kita pilih dan lakukan?

  1. Kebijakan yang pro terhadap keberlanjutan alam dan semua makhluk hidup 

Investasi ratusan atau ribuan triliun tidak akan berarti bila mengenyampingkan aspek keberlanjutan. Duit bisa diciptakan, tetapi alam? Tuhan hanya menciptakannya sekali, dan memberikannya kepada manusia untuk dijaga. Maka itu, sedih rasanya mendengar bila ada niatan pemerintah melalui Rancangan Undang-undang Cipta Kerja, atau Omnibus Law, yang membuat kelestarian alam negara ini di jurang kehancuran karena, salah satunya izin lingkungan dihilangkan. Miris pula melihat DPR ketuk palu mengesahkan RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba)

Ya.. ada sedikit angin segar dengan hadirnya National Plastic Action Partnership (NPAP). Lewat Skenario Perubahan Sistem yang berisikan lima langkah, Indonesia menargetkan untuk mengurangi sampah plastik di lautan sebesar 70% pada 2025, dan mewujudkan Indonesia bebas sampah plastik pada 2040. Salah satu langkahnya, reduksi penggunaan plastik sekali pakai akan dilakukan. Eits, jangan terlena dulu ya, langkah ini cukup progresif tapi perlu dicermati celah yang bisa dimanfaatkan oleh industri. Apalagi NPAP ini disusun bersama dengan sejumlah perusahaan yang berada di industri petrokimia (sebagai bahan baku plastik) dan fast moving consumer goods (FMCG). 

  1. Transportasi ramah lingkungan yang terintegrasi

Jakarta sudah punya MRT, dan terakhir LRT. Dua moda transportasi modern sebagai pilihan bagi kaum komuter, selain busway dan KRL. Dengan fasilitas yang bagus, MRT sepertinya berhasil menjadi pilihan masyarakat kelas menengah bahkan atas. Mereka mengurangi volume bepergian dengan mobil pribadi. Bisa terlihat dari berbagai postingan sosial media sejumlah artis, misalnya. Saya pun cukup bisa melihat jelas bagaimana masyarakat golongan tersebut menikmati naik MRT. Tak heran, pihak MRT mendapatkan angka pengguna yang lumayan tinggi, bisa lebih dari 80.000 orang per hari, berdasarkan catatan per September tahun lalu

Walau belum tuntas untuk seluruh rangkaian rutenya, LRT juga mendapatkan perhatian tinggi dari masyarakat. Mengingat rutenya berbeda dengan MRT. Bila semua moda transportasi ini bisa terintegrasi penuh, dan pelayanannya baik, bukan tidak mungkin masyarakat secara luas akan malas menggunakan kendaraan pribadinya. 

Sementara itu, para pengguna sepeda dan pejalan kaki memang sudah dibuatkan space khusus di jalan raya. Tapi itu belum semua. Seharusnya jalurnya diperbanyak, seiring dengan cukup banyak masyarakat yang menggunakan sepeda ke kantor, ditambah lagi salah satu perusahaan transportasi online pun memiliki lini bisnis pengantaran yang memakai sepeda. Ini gambaran jelas, pengguna sepeda harus mendapatkan perhatian pemerintah untuk mendapatkan kenyamanan ketika di jalan.

Seorang kurir jasa pengantaran mengendarai sepeda di jalanan kosong Jakarta saat PSBB. Kurangnya jalur sepeda di jalanan ibukota seharusnya menjadi perhatian Pemerintah demi mendapatkan keamanan dan kenyamanan ketika di jalan. © Afriadi Hikmal / Greenpeace

Sejatinya, mobilitas yang seharusnya terjadi adalah mobilitas untuk orang, bukan mobilitas kendaraan pribadi baik itu motor ataupun mobil. 

  1. Kedaulatan pangan 

Masalah pangan ini mendapatkan sorotan khusus ketika pandemi. Banyak masyarakat yang tidak mempunyai biaya untuk kebutuhan makanan sehari-hari. Sebagai solusi, ada muncul dapur umum, ada juga masyarakat yang saling bantu lewat memberi bahan mentah dengan cara digantung di depan rumah. Banyak juga muncul ruang diskusi soal menanam sejumlah bahan pangan di rumah. Untuk mengisi perut sendiri dan keluarga. 

Ini menarik! Ternyata gerakan urban farming (petani kota) itu cukup banyak loh! Tidak butuh lahan luas. Sebuah talang air bekas bisa jadi ‘lahan’ buat menanam daun bawang. Bila hasil panennya berlebih, tentu bisa berbagi dengan tetangga. Sebisa mungkin kita menanam tanaman pangan di rumah kita. Sehingga bila ada pandemi seperti ini, atau gejolak kelangkaan dan mahalnya harga produk pangan, itu bisa dilalui. 

Pelatihan urban farming di acara Make Smthng yang diadakan Greenpeace Indonesia di Jakarta, 8 Desember 2019. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace
  1. Ketersediaan ruang hijau dan berkurangnya polusi udara

Untuk ruang hijau, di sejumlah kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya, misalnya), pemerintahnya sudah mulai sadar dan memperbaiki, juga menambah ruang terbuka hijau. Ruang ini juga bisa menjadi sarana bagi masyarakat untuk berinteraksi dan beraktivitas. Bahkan ruang terbuka hijau memiliki segudang manfaat, mulai sebagai ‘paru-paru’ kota hingga menjaga kesehatan mental.

Ruang terbuka hijau juga merupakan salah satu solusi untuk penanganan polusi udara. Dengan banyaknya ketersediaan ruang hijau, polutan yang berada di udara mampu diserap oleh pohon-pohon atau tanaman yang ada di sekitar area tersebut. Namun, tentunya hal tersebut belum cukup untuk mengembalikan langit biru Jakarta. Pemerintah pusat maupun daerah harus bersinergi untuk mengatasi polusi udara dari sumbernya. Memperbanyak stasiun pemantauan kualitas udara, melakukan inventarisasi emisi untuk mengetahui sumber pencemar, dan transparansi data kepada publik, menjadi hal yang penting dan harus segera dilakukan untuk mengatasi polusi udara. 

  1. #SalingBantu antarwarga

Pandemi ternyata telah memunculkan sikap solidaritas sesama manusia yang begitu tinggi. Kepedulian terhadap mereka yang berada di garda terdepan penanganan pasien. Membantu warga yang sulit membeli kebutuhan hidup karena tak ada lagi penghasilan. Sungguh indah! Sisi humanis manusia terangkat ke permukaan dan kian menggelora. Ini membuahkan hasil nyata, minimal membantu mengisi perut sebagian masyarakat yang tidak berdaya. #SalingBantu ini kiranya terus berakar karena tidak bisa kita melulu mengandalkan bantuan pemerintah.  

Jadi, kalau saya melihat #betternormal seyogyanya dimulai dari lingkup kebijakan. Harapan itu masih ada meski menipis. Tapi, jangan mentok di situ. Lebih baik kita mulai dari diri sendiri, lalu bantu sesama. Kita bisa pilih untuk hidup hijau. Bila kita dan seisi rumah kita bisa melakukan itu, lalu menginspirasi tetangga, tetangga melanjutkan kebaikan kepada tetangga lainnya, niscaya #betternormal itu berarti dunia yang lebih baik.