Di sebuah ruangan yang tak begitu luas di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, para nelayan dan masyarakat pesisir duduk bersama, menyaksikan film dokumenter Before You Eat dengan khidmat. Mereka adalah bagian dari Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024, sebuah pertemuan yang diprakarsai oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
Acara ini bukan sekadar tontonan; ini adalah panggilan untuk kebangkitan, sebuah seruan kepada masyarakat pesisir untuk bangkit melawan ketidakadilan yang telah lama mereka alami. Dalam film yang diproduksi oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) tersebut, terpampang nyata kehidupan keras para awak kapal perikanan (AKP) migran yang bekerja di bawah bayang-bayang kerja paksa dan perdagangan manusia.
Penonton, yang sebagian besar adalah nelayan tradisional, melihat refleksi perjuangan mereka sendiri di layar—jam kerja panjang, upah tak layak, dan ancaman dari industri perikanan besar yang semakin menekan ruang hidup mereka. Wajah-wajah penuh kelelahan yang terpampang di layar seakan menjadi cermin dari kehidupan yang mereka kenal begitu dekat.
“Kami sebagai nelayan kecil berupaya mendapatkan hak-hak kami, terutama karena Undang-Undang Nomor 7/2016 sudah mengatur tentang perlindungan bagi nelayan kecil, namun implementasinya sangat minim. Kami sangat kesulitan dalam mendapatkan subsidi yang seharusnya menjadi hak kami. Selain itu, kami merasa diperlakukan sama dengan kapal-kapal besar, yang jelas tidak adil,” kata Sugeng dari Forum Nelayan Jepara Utara.
Momentum Menuntut Perubahan
Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024 bukan hanya sekadar ajang silaturahmi, tetapi sebuah momentum untuk menuntut perubahan. Lewat pertemuan ini, Tim 9 menyalakan semangat baru, sebuah panggilan untuk bersatu dan memperjuangkan hak-hak mereka. Dalam suasana yang sarat akan solidaritas, film tersebut mengingatkan bahwa perjuangan mereka tidak berakhir di situ. Melalui ratifikasi Konvensi ILO 188 (K-188) atau C-188, ada harapan nyata di ujung perjuangan panjang ini.
C-188 mengatur tentang pekerjaan dalam penangkapan ikan. Konvensi yang diterbitkan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2007 tersebut secara khusus mengatur standar pelindungan bagi para pekerja di sektor kelautan.
Lebih dari itu, C-188 juga mengisi kekosongan pelindungan ketenagakerjaan di bidang perikanan yang selama ini dikecualikan dalam Konvensi Ketenagakerjaan Maritim atau Maritime Labour Convention (MLC) tahun 2006. C-188 memuat sejumlah pembaharuan dalam upaya pelindungan pekerja di sektor industri perikanan agar tak terjebak dalam praktik kerja paksa, perbudakan modern, dan perdagangan manusia.
Tim 9 merupakan koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari elemen serikat pekerja, asosiasi perikanan, manning agency, dan akademisi. Mereka adalah anggota dari Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI), Kesatuan Pelaut dan Pekerja Perikanan Indonesia (KP3I), Indonesia Ship Manning Agents Association (ISMAA), Human Rights Working Group (HRWG), Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Indonesia Sulawesi Utara (SAKTI Sulut), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Rumoh Transparansi, KIARA, SBMI, dan Greenpeace Indonesia.
Greenpeace Indonesia yang tergabung dalam Tim 9 menyoroti buruknya tata kelola perikanan yang berkeadilan bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Sihar Silalahi, mengatakan penetapan wilayah perikanan yang adil sangat penting untuk menghindari kebijakan yang kontraproduktif.
“Hal ini penting supaya alokasi pemberdayaan nelayan yang terbatas, kebijakan mengenai peruntukan dan zonasi, perencanaan pembangunan, dan yang lainnya, dapat diprioritaskan untuk mendukung perikanan skala kecil. Nelayan kecil bisa sejahtera jika hak-hak dasar dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya tidak diganggu oleh kapal-kapal skala industri yang tidak dikontrol dengan ketat,” kata Sihar.

Greenpeace Indonesia juga mengecam lemahnya sistem pelindungan pekerja di sektor perikanan Indonesia. Hal ini membuat nelayan pesisir berada di jurang yang jauh dengan kesejahteraan, mulai dari jam kerja dan upah yang tidak pasti, hingga potensi menghadapi kerja paksa dan menjadi korban perdagangan orang.
“Kami mendorong percepatan ratifikasi ILO C-188 sebagai landasan hukum untuk pelindungan pekerja di sektor perikanan. Pemerintah Indonesia punya mandat untuk menyusun kebijakan yang menempatkan keadilan bagi nelayan dan mengutamakan pembentukan peraturan yang melindungi martabat dan hidup mereka, bukan sekedar mengeluarkan kebijakan yang ternyata hanyalah metamorfosis kapitalisme global. Segera ratifikasi ILO C-188,” tegas Sihar.
Selain itu, Tim 9 juga terlibat dalam edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat khususnya di kawasan pesisir tentang ILO C-188.
“Langkah pertama, sudah dilakukan oleh Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesian (SAKTI). SAKTI Goes to Campus itu kami sasar anak SMK, kami kasih paham terkait C-188. Selanjutnya kami akan mengunjungi nelayan-nelayan di daerah untuk melakukan sosialisasi terkait C-188,” kata Sofyan, Sekjen SAKTI cum Koordinator Tim 9.
Di tengah segala kesulitan, harapan tak boleh mati. Upaya kolektif ini adalah bukti bahwa perubahan bisa terjadi jika suara-suara kecil bersatu. Ratifikasi ILO C-188 bukan hanya tentang memperbaiki nasib para pekerja perikanan; ini adalah langkah nyata menuju dunia yang lebih adil.
Gilang Ramadhan adalah Petugas Media dan Komunikasi di Greenpeace Southeast Asia, Kantor Indonesia.