Jakarta, 4 Oktober 2018. Demi menekan suplai sampah plastik di darat dan laut yang begitu masif, produsen harus bergerak cepat mengurangi dan menghentikan penggunaan plastik sekali pakai. Urgensi ini diperkuat dengan temuan dari audit merek sampah plastik yang dilakukan Greenpeace Indonesia bersama dengan sejumlah komunitas lokal pada pertengahan September di tiga lokasi, yakni Pantai Kuk Cituis (Tangerang), Pantai Pandansari (Yogyakarta), dan Pantai Mertasari (Bali)[1].

Beach Clean Up Activity and Brand Audit in Tangerang. © Rakhmawaty La'lang

“Ada 797 merek dari sampah plastik yang kami temukan dari tiga lokasi, di mana yang terbesar adalah merek-merek makanan dan minuman (594 merek), kemudian merek-merek perawatan tubuh (90), kebutuhan rumah tangga (86), dan lainnya (27),” kata Muharram Atha Rasyadi, Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia. Ada pun jumlah sampah yang kami kumpulkan dari tiga lokasi tersebut sebanyak 10.594 kemasan.

Dari hasil audit merek, Greenpeace menemukan kemasan produk-produk dari Santos, P&G dan Wings sebagai yang terbanyak dari kegiatan bersih pantai dan audit merek di Pantai Kuk Cituis (Tangerang); Danone, Dettol, Unilever di Pantai Mertasari (Bali); dan Indofood, Unilever, Wings di Pantai Pandansari (Yogyakarta). “Kami juga menemukan cukup banyak sampah plastik yang tidak lagi terlihat mereknya. Ini mengindikasikan bahwa sampah tersebut sudah lama terbuang dan berada di lingkungan tersebut,” Atha menerangkan. Sampah-sampah plastik tersebut bisa berasal dari masyarakat sekitar, serta dari tempat yang jauh yang kemudian terbawa arus.

Secara global, hanya 9% sampah plastik yang didaur ulang dan 12% dibakar. Dengan kata lain, 79% sisanya berakhir di tempat-tempat pembuangan maupun saluran-saluran air seperti sungai yang bermuara ke lautan[2]. Oleh sebab itu, merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah khususnya pasal 15, produsen harus bertanggung jawab atas sampah kemasannya, utamanya dengan mengubah model bisnisnya[3] untuk mengurangi dan menghentikan penggunaan kemasan plastik sekali pakai.

Produsen mempunyai tanggung jawab besar untuk menyelesaikan masalah sampah plastik yang mereka ciptakan, sementara pemerintah harus bisa tegas terhadap para produsen seperti yang tertuang dalam UU No 18. Kebijakan pemerintah sejauh ini menurut Atha belumlah kuat. Kehadiran Peraturan Presiden No 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut pun belum tegas mendorong produsen untuk mengubah kemasannya menjadi dapat digunakan secara terus-menerus atau diisi ulang. Pasalnya, beleid tersebut mengutamakan produksi plastik yang mudah terurai dan dapat didaur ulang, dalam arti lain, masih sekali pakai.
“Bila kebijakan perusahaan dan pemerintah hanya sebatas daur ulang dan menggunakan plastik ramah lingkungan, maka target Indonesia mengurangi 70% sampah plastik di lautan pada 2025 hanyalah sekadar angan-angan,” tegas Atha.

Catatan:

  1. Kegiatan audit merek ini adalah bagian dari aktivitas global bersama dengan mitra-mitra yang tergabung dalam gerakan Break Free From Plastic. https://www.breakfreefromplastic.org/
  2. http://advances.sciencemag.org/content/3/7/e1700782.full
  3. Model bisnis yang dimaksud adalah pengemasan atau pengiriman produk yang menghindari plastik sekali pakai.

Foto dan Video:

https://media.greenpeace.org/collection/27MZIFJWQ8I48
Link tersebut juga termasuk dokumentasi kegiatan penyelaman tim selam Greenpeace Indonesia di kawasan perairan sekitar Pulau Pramuka dan Pulau Panggang pada 29-30 September 2018.

Kontak Media:

  • Muharram Atha Rasyadi, Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia, [email protected], telp +62 811-1714-083
  • Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, [email protected], telp +62 811-1924-090