Adanya proyek PLTU batu bara -dari 23 proyek Prakarsa Sabuk Jalan/Belt and Road Initiative (BRI)- yang ditandatangani pebisnis Indonesia dan China di Beijing menunjukkan dengan jelas korupsi politik batu bara. Perusahaan Indonesia yang terlibat dalam proyek PLTU batu bara adalah PT Toba Bara Sejahtra yang bekerjasama dengan Powerchina International Group untuk elektrifikasi Sulbagut-1 dan Sulut-3 dan Indonesia Lumbung Group Co yang bekerjasama dengan Engineering Department of China National Electric[1]

Action at Cirebon Power Plant in Java. © Afriadi Hikmal / Greenpeace

Korupsi politik dan konflik kepentingan ini terlihat dari Toba Bara Sejahtra sebagai salah satu perusahaan yang menandatangani perjanjian kerjasama. Saham mayoritas perusahaan ini sebelumnya dimiliki oleh Menko Maritim, Luhut Binsar Pandjaitan -yang juga menjadi salah satu delegasi Indonesia untuk proyek BRI- dan keluarganya. Walaupun telah dijual kepada Highland Strategic Holdings dengan penjualan yang ganjil, keluarga Luhut masih memiliki saham minoritas di perusahaan tersebut dan Luhut masih menempatkan orang-orangnya di jajaran komisaris dan direksi, seperti Pandu Patria Sjahrir sebagai direktur dan Djusman Syafi’i Djamal sebagai presiden komisaris yang memiliki jabatan penting di beberapa perusahaan Luhut.

Masih segar dalam ingatan kita kasus suap PLTU Batu Bara Riau 1 menyeret sejumlah nama pejabat negara seperti Idrus Marham, dan Direktur Utama PLN, Sofyan Basir yang baru saja ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Selasa 23 April 2019. Terakhir, Kantor Pusat Hyundai Engineering and Construction baru saja mengakui penyuapan terhadap Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra dalam pembangunan PLTU Cirebon 2.[2]

“Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa bisnis batu bara baik pertambangan maupun PLTU batu bara sarat dengan kepentingan elite politik dan korup,” ujar Tata Mustasya, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara. Penandatanganan proyek-proyek berbasis energi kotor tersebut meningkatkan ketergantungan pemerintah terhadap penggunaan batu bara dan pembangunan PLTU.

Padahal tren dunia saat ini sedang melakukan peralihan besar-besaran untuk pemanfaatan energi terbarukan. Indonesia justru melawan arus ini, dan menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan transisi ke energi terbarukan.

Desember tahun lalu, Greenpeace, ICW, Auriga, dan JATAM merilis sebuah laporan Coalruption yang mengungkap bagaimana elite politik memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan bisnis pertambangan batu bara. Laporan ini menjelaskan bagaimana korupsi politik, konflik kepentingan, dan regulatory capture telah menyebabkan tumbuh pesatnya bisnis pertambangan batu bara dan diabaikannya kerusakan lingkungan dan dampak sosial dari tambang tersebut.

Jelang pemilu serentak, pada 13 April lalu, sebuah film dokumenter berjudul “Sexy Killers” diluncurkan ke publik melalui kanal Youtube Watchdoc Documentary. Dalam film berdurasi 88 menit ini, digambarkan dengan gamblang baik kandidat presiden dan pasangan calon mereka memiliki ikatan dengan para pemain industri batu bara. Film dokumenter ini juga melacak cengkeraman kuat industri batu bara pada pejabat negara dan elite politik negeri ini.

Kontak media:

  • Tata Mustasya, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, +62 812-9626-997
  • Rahma Shofiana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 8111-461-674

Catatan:

[1] “23 Proyek Obor Diteken”. Bisnis Indonesia, 27 April 2019.

[2] “Hyundai admits bribing Indonesian politician for power plant construction” http://www.koreatimes.co.kr/www/tech/2019/05/693_268175.html