Jakarta, 29 September 2020. Pemanfaatan biomassa sebagai campuran batu bara untuk bahan baku Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagai upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, adalah hal yang keliru dan merupakan solusi semu. Sejauh ini, bahan baku sampingan yang digunakan untuk co-firing adalah sampah dan limbah hasil perkebunan, seperti cangkang sawit (palm kernel shell/PKS). Penggunaan sampah dan PKS justru berpotensi menambah permasalahan baru. 

“Akar masalah dari besarnya emisi gas rumah kaca (GRK) kita adalah keberadaan PLTU itu sendiri. Indonesia seharusnya langsung melakukan lompatan besar dari PLTU batu bara ke energi bersih dan terbarukan,” ujar Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari. Dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contributions) Indonesia, sektor energi diproyeksikan menjadi kontributor emisi terbesar pada 2030, menyusul setelahnya sektor kehutanan. Di sektor kelistrikan nasional, pembangkit batu bara masih mendominasi sebesar 62%. Jumlah PLTU pun masih akan terus bertambah, baik itu memperbesar kapasitas dari PLTU yang sudah beroperasi (28.000 MW) maupun pembangunan PLTU baru (27.000 MW). 

Coal Power Plants in Suralaya, Indonesia. © Kasan Kurdi / Greenpeace
Pemandangan PLTU Suralaya di Cilegon, Banten dari udara. © Kasan Kurdi / Greenpeace

Bila ingin mencapai penurunan emisi GRK secara signifikan, satu-satunya solusi dengan bertransisi ke energi bersih dan terbarukan. Pemerintah sudah memiliki target bauran EBT (energi baru dan terbarukan) sebesar 23% pada 2025. Tapi, realisasinya masih jauh dari target. “Saat ini, laju pertumbuhan EBT hanya mencapai 500 MW/tahun atau hanya akan mencapai penambahan sebesar 2.500 MW di 2025. Sedangkan, untuk mencapai target bauran 23% di tahun 2025, dibutuhkan 10.000 MW tambahan kapasitas EBT yang harus dikejar dalam empat tahun ini,” jelas Adila. Salah satu sumber energi terbarukan yang berlimpah adalah energi surya, yaitu sebesar 200 GWp, tapi baru dimanfaatkan sebesar 0,02%. Padahal, biaya investasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) telah mengalami penurunan yang sangat pesat, bahkan lebih murah dibandingkan dengan PLTU batu bara. [1] 

Penurunan emisi GRK pada sektor energi tidak akan bisa ditekan dengan co-firing. Porsi sampah dan limbah hasil hutan hanya 1-5%, sisanya 95% tetap menggunakan batu bara. Berdasarkan penelitian, pencampuran 5% co-firing hanya akan mengurangi emisi GRK pada PLTU batu bara sebesar 5,4% [2]. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh PLN, dibutuhkan 5 juta ton wood pellet per tahun atau 738.000 ton pellet sampah per tahun hanya untuk memenuhi kebutuhan 1% co-firing per tahun pada 18.000 MW PLTU batu bara yang sudah ada [3]. Dengan target PLN untuk penerapan co-firing sebesar 10%, maka volume sampah maupun PKS yang dibutuhkan akan lebih besar. 

Terkait sampah, pemerintah sudah mencobanya pada PLTU Jeranjang, Lombok dengan memanfaatkan sampah dari TPA Kebon Kongok. Penggunaan sampah ini tidak akan menyelesaikan krisis sampah khususnya plastik, dan berpotensi menurunkan efisiensi boiler PLTU. Komposisi sampah yang masih didominasi oleh sampah sisa rumah tangga dan belum adanya sistem pemilahan yang baik memperkuat alasan mengapa sampah bukanlah pilihan yang tepat sebagai sumber energi alternatif. Dari sisi polusi udara, penggunaan co-firing dengan tujuan mengurangi emisi berbahaya dari PLTU batu bara, tentunya tidak akan maksimal jika tidak didorong dengan teknologi air pollution control (APC) yang baik. Selain itu, pencampuran pellet kayu dan sampah pada PLTU yang sebagai bahan bakar yang tidak disertai dengan pengelolaan emisi dengan baik, akan semakin membahayakan karena dapat menghasilkan polutan beracun lainnya [4]. 

Saat ini, regulasi emisi PLTU batu bara belum dapat memaksa penggunaan teknologi APC bagi seluruh pembangkit. Di sisi lain, penggunaan teknologi APC pun mulai menuai keluhan akibat mahalnya biaya retrofit yang harus dikeluarkan oleh PLTU, di mana akan berujung pada kenaikan tarif listrik apabila tidak dibantu dengan subsidi dari pemerintah [5]. 

Coal Power Plants in Suralaya, Indonesia. © Ulet  Ifansasti / Greenpeace
Pemandangan PLTU Suralaya di Cilegon, Banten dari udara. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Kebutuhan cangkang sawit untuk PLTU pun berpeluang menambah pembukaan lahan sawit, yang pada akhirnya menghasilkan jejak karbon cukup besar. Perkebunan sawit dan pertambangan batu bara di Indonesia adalah penyebab deforestasi utama yang melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar pada proses pembukaan lahannya. Proses pengolahan biomassa tersebut menjadi pellet yang sesuai dengan spesifikasi dan juga transportasi pengiriman menuju PLTU tentunya akan menghasilkan emisi karbon. 

“Upaya co-firing merupakan solusi keliru dan semu untuk memenuhi komitmen iklim Indonesia. Pembakaran untuk menghasilkan listrik, akan melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar. Selain itu, bila pemerintah tetap mempertahankan penggunaan batu bara, maka Indonesia pun akan semakin sulit menepati komitmen iklimnya dalam NDC,” ucap Adila. 

SELESAI

Catatan:

[1] ESDM, 2020, dalam webinar Katadata. 

[2] Mann, M., Spath, P. A life cycle assessment of biomass cofiring in a coal-fired power plant. Clean Prod Processes 3, 81–91 (2001). https://doi.org/10.1007/s100980100109a 

[3] http://ebtke.esdm.go.id/post/2020/02/28/2490/terapkan.metode.co-firing.di.pltu.ini.potensi.biomassa.untuk.subtitusi.batubara [4]https://www.eia.gov/energyexplained/biomass/biomass-and-the-environment.php 

[5] https://www.cnbcindonesia.com/news/20200825183822-4-181940/regulasi-pengendalian-emisi-pltu-diklaim-buat-subsidi-bengkak 

Kontak media: 

Adila Isfandiari, Peneliti Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, [email protected], telp 0811-155-769

Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, [email protected], telp 0811-1924-090