GOLDACH, Swiss (16 Maret 2021) – Data baru dari platform data kualitas udara global IQAir, diterbitkan dalam sebuah Laporan Kualitas Udara Dunia 2020 dan peta global interaktif online, mengungkapkan dampak lockdown di sejumlah negara akibat pandemi COVID-19 dan adanya perubahan perilaku manusia pada tingkat polusi partikulat global (PM2.5).

 Bike for Blue Photo Op in Jakarta. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace
Bike for Blue © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Beberapa temuan utama dalam laporan ini yaitu:

  • Dampak COVID-19: Pada tahun 2020, 84% dari semua negara yang dipantau mengalami peningkatan kualitas udara, sebagian besar karena tindakan karantina wilayah global untuk memperlambat penyebaran COVID-19.
  • Penurunan tingkat polusi udara di kota-kota besar pada tahun 2020 dibandingkan dengan 2019 termasuk Singapura (-38%), Wuhan (-18%), Seoul (-16%) dan Delhi (-15%).
  • Hanya 24 dari 106 negara yang dipantau memenuhi pedoman tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk PM2.5 pada tahun 2020.
  • Perubahan iklim terus mempengaruhi kualitas udara: Tahun 2020 tercatat bersama 2016 sebagai tahun terpanas bumi. Kebakaran hutan dan badai pasir yang dipicu oleh pemanasan iklim menyebabkan tingkat polusi yang sangat tinggi di California, Amerika Selatan, Serbia, dan Australia.
  • India: Pada tahun 2020, semua kota di India yang dipantau mengamati peningkatan kualitas udara dibandingkan dengan 2018, sementara 63% mengalami peningkatan dibandingkan dengan 2019. Namun, India terus tampil di peringkat teratas kota paling tercemar, dengan 22 dari 30 teratas kota yang tercemar secara global.
  • China: Pada tahun 2020, 86% kota di China mengalami udara yang lebih bersih dibandingkan tahun sebelumnya. Meski demikian, penduduk China masih terpapar kadar PM2.5 lebih dari 3 kali lipat pedoman tahunan WHO. Hotan di barat laut China menempati peringkat kota paling tercemar di dunia, sementara kota-kota lain di kawasan ini juga berperingkat tinggi, sebagian besar karena badai pasir yang diperburuk oleh perubahan iklim.
  • Amerika Serikat: Tingkat polusi partikel rata-rata naik 6,7% pada tahun 2020, meskipun ada tindakan untuk menahan penyebaran COVID-19. Kebakaran hutan yang memecahkan rekor di California, Oregon, dan Washington menyebabkan kota-kota di AS menjadi 77 dari 100 kota paling tercemar di dunia pada September 2020 (menurut rata-rata PM2,5 bulanan). Pada tahun 2020, 38% kota di Amerika tidak memenuhi pedoman WHO untuk tingkat PM2.5 tahunan. Ini merupakan peningkatan yang signifikan dari 21% kota di AS yang tidak memenuhi pedoman WHO pada tahun 2019.
  • Asia Selatan: Enam puluh tujuh persen kota di Bangladesh yang melakukan pengukuran polusi udara, termasuk dalam kategori tidak sehat. Kota-kota di Asia Selatan termasuk 42 dari 50 kota paling tercemar di dunia.
  • Eropa: Pada tahun 2020, sekitar setengah dari semua kota di Eropa melebihi batas ambien WHO untuk polusi PM2.5 tahunan. Tingkat polusi PM2.5 tertinggi ditemukan di Eropa Timur dan Selatan, dengan Bosnia Herzegovina, Makedonia Utara, dan Bulgaria memimpin.
  • Bangladesh, Cina, India, dan Pakistan berbagi 49 dari 50 kota paling tercemar di seluruh dunia.
  • Pada 2020 terdapat peningkatan sebesar 14% dalam jumlah stasiun pemantauan kualitas udara secara global dari tahun sebelumnya.
  • Banyak negara di Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan dan Amerika Selatan kekurangan stasiun pemantauan kualitas udara untuk memantau dan melaporkan polusi udara.

“Tahun 2020 membawa penurunan polusi udara yang tak terduga. Pada 2021, kami melihat kemungkinan akan kembali terjadi peningkatan polusi udara karena aktivitas manusia ”kata Frank Hammes, CEO IQAir. “Kami berharap laporan ini akan memberi peringatan bahwa perlu tindakan sesegera mungkin untuk memerangi polusi udara, yang tetap menjadi ancaman kesehatan lingkungan terbesar di dunia.”

“Banyak bagian dunia mengalami peningkatan kualitas udara yang belum pernah terjadi sebelumnya, tetapi berumur pendek, pada tahun 2020, karena pembatasan terkait pandemi COVID-19 menyebabkan penurunan tajam dalam konsumsi bahan bakar fosil,” kata Lauri Myllyvirta, analis utama di Center for Research on Energy and Clean Air (CREA). “Kualitas udara yang meningkat ini berarti puluhan ribu kematian yang terhindarkan dari polusi udara. Dengan beralih ke energi bersih dan transportasi bersih, kita dapat mewujudkan peningkatan yang sama secara berkelanjutan.”

Di Jakarta sendiri, meskipun ada penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) karena COVID-19, kualitas udara di Jakarta tetap dalam kisaran yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Citra satelit dan analisis yang disusun oleh Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) mengungkapkan bahwa sementara konsentrasi NO2 turun 33%, tingkat polusi PM2.5 tetap tinggi. 

Sedangkan selama masa PSBB transisi, konsentrasi PM2.5 dan NO2 di Jakarta terus meningkat. Bahkan pada 15 Juni 2020, Jakarta masuk lima besar kota di dunia dengan kualitas udara terburuk menurut database IQAir Visual. Data lain yang cukup menarik dari laporan ini adalah kota Tangerang Selatan menjadi kota paling tercemar se-Asia Tenggara.   

Penurunan konsentrasi NO2 di Jakarta sebagian besar disebabkan oleh penurunan kegiatan pada sektor transportasi dan industri selama masa PSBB. Namun, sumber pencemar utama, seperti pembangkit listrik tenaga batubara yang berlokasi di luar Jakarta, termasuk pembangkit listrik tenaga batubara Suralaya di Banten, terus beroperasi seperti biasa. Khususnya, NOx dari sumber tersebut dapat teroksidasi untuk membentuk PM2.5, yang merupakan partikel mikro yang memiliki periode bertahan lama di atmosfer dan dapat terbang cukup jauh. Karena lintasan angin yang berlaku, polutan PM2.5 dari pembangkit batubara ini mencapai wilayah Jakarta selama periode PSBB, dan mempengaruhi kualitas udara di kota. 

Greenpeace mendesak pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk menambah stasiun pemantauan kualitas udara yang dapat mewakili Jakarta secara keseluruhan, menyediakan sistem transportasi publik terintegrasi, dan berkoordinasi dengan pemerintah Jawa Barat dan Banten untuk mengendalikan polusi udara lintas batas”, ujar Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia. 

Tentang Laporan Kualitas Udara Dunia 

Laporan Kualitas Udara Dunia 2020 didasarkan pada data PM2.5 dari 106 negara, yang telah diukur oleh stasiun pemantau berbasis darat. Dari sumber data yang termasuk dalam laporan ini, 66,6% stasiun dioperasikan oleh instansi pemerintah, sedangkan sisanya merupakan stasiun pemantauan yang dikelola oleh penduduk setempat, organisasi nirlaba, dan perusahaan.

Unduh laporan: 2020_world_air_quality_report.pdf

Tentang IQAir 

IQAir adalah perusahaan teknologi kualitas udara yang berbasis di Swiss yang sejak 1963 berupaya memberdayakan individu, organisasi, dan komunitas untuk menghirup udara yang lebih bersih melalui solusi informasi, kolaborasi, dan teknologi.

Kontak Media:

  • Bondan Andriyanu, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, +62 811-8188-182
  • Rahma Shofiana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 8111-461-674