Jakarta, 13 September 2021 – Pada tanggal 10 September 2021 ini, pemerintah Indonesia mengakhiri kerjasama REDD+ bersama Norwegia. Greenpeace Indonesia menilai bahwa aksi ini menunjukkan kehancuran kerjasama dan komitmen di antara kedua pemerintah untuk mengambil aksi yang serius melawan krisis iklim.  

“Kerjasama Norway – Indonesia ini seharusnya memungkinkan kedua negara ini untuk berkontribusi secara bersama ‘diluar dari tanggung jawab mereka sendiri’ untuk memastikan kenaikan suhu global di bawah 2℃. Menilai dari progress dan hasil yang sudah tercapai dan juga melihat dari hasil laporan IPCC tentang Perubahan Iklim dan lahan, usaha dari kerjasama tersebut tidak efektif dan jauh dari capaian target tersebut,” Kiki Taufik, kepala kampanye hutan Greenpeace Indonesia mengatakan “terlepas dari nasib kesepakatan awal, kita memerlukan target yang lebih ambisius, dan memerlukan kerjasama dengan internasional.”

Greenpeace Indonesia prihatin tentang apa yang akan terjadi terhadap ambisi dalam NDC Indonesia setelah pengakhiran kerjasama ini, mengingat bahwa original komitmen negara Indonesia ini adalah mengurangi sekitar 26% dari emisi pada tahun 2020 dengan upaya sendiri dan setinggi 41% pada 2020 dengan adanya bantuan internasional. 

“Kita sudah melihat target kita mundur dengan hanya pengurangan 29% emisi karbon pada tahun 2030 dalam komitmen NDC Indonesia, dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Apakah terminasi dengan partner terbesar Indonesia ini menandakan kurangnya ambisi untuk mencapai target reduksi emisi sebesar 41%?”, ucap Kiki. 

Kesepakatan tersebut mencakup prinsip bahwa semua pemangku kepentingan termasuk masyarakat adat, lokal, dan masyarakat sipil diberikan kesempatan untuk berpartisipasi penuh dan efektif dalam program-program kegiatan perlindungan hutan. Sayangnya, masih ada kekurangan transparansi yang serius dan partisipasi dalam manajemen hutan Indonesia. Misalnya, pemerintah pusat masih menutup akses data dan informasi yang krusial ke publik tentang pemberian lahan, meskipun ada perintah dari Mahkamah Agung. 

Ilustrasi pembukaan lahan hutan di Papua untuk kebun kelapa sawit

Dari hal transportasi dan energi, Rencana Undang undang mengenai energi baru terbarukan menandakan bahwa pada 2050, Indonesia akan masih menggunakan batu bara, meski dalam bentuk baru seperti gasifikasi batu bara, coal liquefaction, dan coal bed methane. Rencana untuk melanjutkan pemakaian batu bara terkonfirmasi dalam RPJMN untuk pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim, dimana batu bara masih akan menjadi bahan utama yaitu sebesar 38 persen dari kapasitas pembangkit listrik pada tahun 2050. Dengan adanya program biodiesel yang sudah di implementasi oleh pemerintah juga adalah suatu tanda kegagalan ambisi pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi, dikarenakan biodiesel berpotensi besar untuk menambah deforestasi dan juga pembukaan lahan seperti yang tertulis pada hasil penelitian Greenpeace mengenai Biodiesel. 

Meskipun hasil dari kerjasama REDD+ diantara Indonesia dan Norwegia telah berakhir dengan hasil yang kurang ambisius, Kolaborasi internasional masih mempunyai peran yang penting untuk mengurangi deforestasi dan emisi karbon. Maka, Greenpeace Indonesia mendesak kedua negara untuk mengeksplorasi cara – cara kolaborasi baru untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dengan mempertimbangkan urgensi krisis iklim saat ini. 

Kontak media:

Arkian Suryadarma, Forest Campaigner Greenpeace Indonesia, +62 8119-742-992 — [email protected]

Adila Isfandiari, Climate and Energy Campaigner Greenpeace Indonesia, +62 811-155-760 — [email protected]

Rahma Shofiana, Media Campaigner Greenpeace Indonesia, +62 8111-461-674 — [email protected]