Jakarta, 4 November 2021. Kabar baik berhembus dari perhelatan COP 26 yang sedang berlangsung di Glasgow, di mana Indonesia menyatakan keinginan untuk menutup operasi  PLTU batu bara sebelum 2040. Terhadap hal ini, Greenpeace Indonesia sangat berharap Pemerintah menuangkannya dalam berbagai produk kebijakan, dan mengimplementasikannya dengan peta jalan yang jelas. Pasalnya, dalam dokumen RUPTL terbaru 2021-2030, misalnya, PLTU batu bara justru masih mendapatkan porsi penambahan sebesar 13,8 Gigawatts (GW). 

Selain itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengisyaratkan kebutuhan pendanaan yang besar bagi langkah phase out PLTU, dan mengharapkan dukungan internasional. Dan Bank Pembangunan Asia (ADB) pun meluncurkan Mekanisme Transisi Energi demi membantu sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menutup sekitar 50% PLTU selama 10 hingga 15 tahun ke depan

PLTU Batu Bara Pelabuhan Ratu, Jawa Barat.

Menanggapi hal ini, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya mengatakan :

“Inisiatif ini dapat menjadi jalan keluar bagi Indonesia untuk menghentikan operasi PLTU batu bara di 2040 sesuai rekomendasi IPCC dan melakukan transisi ambisius ke energi bersih dan terbarukan. PLTU batu bara dengan kapasitas saat ini sebesar 31,9 GW telah berkontribusi sangat besar terhadap krisis iklim serta dampak kesehatan, sosial dan ekonomi yang merugikan rakyat Indonesia. Belum lagi tambahan sebesar 13,8 GW PLTU di dalam RUPTL 2021-2030, 90 persen diantaranya akan dibangun di Jawa dan Sumatera yang sudah mengalami kelebihan kapasitas.”

Namun apakah inisiatif ini betul-betul bisa menjadi game changer untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan? Ini sangat tergantung kepada rencana implementasinya, the devil is in the details. Untuk itu ADB dan Pemerintah Indonesia harus menempuh langkah berikut: 

Pertama, memastikan penutupan lebih awal PLTU batu bara diikuti transisi yang sesungguhnya ke energi bersih dan terbarukan, seperti energi matahari. Inisiatif ini tidak boleh membawa rakyat Indonesia kepada solusi semu, seperti energi gas, yang malah bakal menunda transisi.

Kedua, menghilangkan berbagai hambatan dan menciptakan insentif bagi pengembangan energi bersih dan terbarukan yang potensinya melimpah di Indonesia. Dengan demikian, penambahan kapasitas dari energi bersih dan terbarukan bisa berjalan seiring dengan penutupan PLTU batu bara untuk memastikan akses energi bagi seluruh rakyat Indonesia. Transisi ke energi bersih dan terbarukan harus diinisiasi dan dipimpin oleh pemerintah, bukan oleh pasar.

Ketiga, menerapkan tata kelola yang baik melalui transparansi dan pelibatan partisipasi semua pemangku kepentingan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi mekanisme tersebut.

Keempat, memastikan bahwa mekanisme ini tidak menjadi bail out dan pencarian rente ekonomi baru bagi pengusaha PLTU batu bara baru. Penentuan harga PLTU batu bara dalam mekanisme ini harus dilakukan secara transparan sehingga mencegah kelebihan harga yang mengabaikan bahwa PLTU batu bara terancam menjadi aset mangkrak dalam 10-15 tahun ke depan dan saat ini berada dalam kondisi kelebihan kapasitas.

Kelima, memasukkan eksternalitas dan biaya pemulihan kerusakan dari operasi PLTU batu bara. Mekanisme ini harus menyediakan pembiayaan yang memadai dan berkeadilan untuk pemulihan dampak kesehatan, ekonomi, dan sosial bagi warga terdampak. 

Ibu Munjiah, 50, memegang hasil pindai X-Ray dadanya yang menunjukkan bercak diduga kuat berasal dari debu batu bara aktivitas PLTU di dekat rumahnya di Cilacap, Jawa Tengah. Beliau didiagnosa mengidap Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

“Pengumuman ini tidaklah berarti bila berbagai produk kebijakan di level implementasi justru bertolak belakang. Penutupan PLTU benar-benar harus disertai dengan pengembangan energi bersih dan terbarukan, tidak lari ke berbagai solusi semu, dan tidak mengabaikan dampak merusak operasi PLTU yang telah dan akan terus terjadi hingga 2040,” pungkas Tata. 

***

Kontak media:

Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, +62812-9626-997, [email protected] 

Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, +62-811-1924-090, [email protected]