Jakarta, 17 Juni 2020. Pemerintah menghadiahkan industri biofuel sebesar Rp 2,78 triliun dari Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebagai dampak dari pandemi Covid-19. [1]. Insentif akan dikelola melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), sebuah badan pemerintah yang bertugas mengumpulkan dan mengelola dana dari pungutan ekspor minyak sawit dengan mandat untuk mempromosikan industri, termasuk membantu petani kecil. Namun, sejak didirikan, dana tersebut telah didistribusikan kepada perusahaan multinasional untuk memperluas produksi biofuel mereka. Pandemi Covid-19 telah menyebabkan penundaan dalam implementasi insentif biofuel di Malaysia. Namun, Indonesia belum menunda implementasi target biofuel untuk tahun ini. [2]

“Dengan jatuhnya harga minyak, program biofuel Jokowi tidak masuk akal lagi, kecuali tujuannya adalah membuat para taipan kelapa sawit kaya menjadi lebih kaya”, kata Mansuetus Darto, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). “Dana minyak sawit dibangun berdasarkan janji untuk meningkatkan mata pencaharian kami. Tapi ini tipuan saja. Perusahaan multinasional itu menggunakan alasan virus Corona untuk melarang pekerja berkumpul dengan keluarga saat Idul Fitri, tapi mereka juga mendapat dana negara untuk dampak pandemi,” lanjut Darto.

Pemerintah juga telah meningkatkan retribusi ekspor minyak sawit mentah (CPO) dari 50 dollar AS per ton menjadi 55 dollar AS per ton, untuk meningkatkan pendanaan untuk dana minyak sawit. Pada 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan dan penggunaan dana pungutan industri sawit yang dihimpun oleh BPDPKS dan beberapa pelaku besar industri sawit.

“Korupsi mengancam pembangunan dan memperdalam ketimpangan. Misalnya ketika orang-orang seperti Martua Sitorus, penyandang dana Wilmar dan raja kelapa sawit yang membayar pajak 700 miliar tetapi menerima subsidi 1,2 triliun. Dan ini dianggarkan di APBN, biasanya dana biofuel sudah dipisahkan dari iuran mereka. Tapi iuran mereka tidak cukup, mereka minta dikucurkan dari APBN juga,” kata ekonom Faisal Basri.

Wilmar International adalah penerima manfaat tunggal terbesar dari dana tersebut. Pada 2015/16 pedagang minyak sawit terbesar di dunia ini menerima hampir 55 persen alokasi dari dana tersebut. Baru-baru ini (2017/18) Wilmar masih menerima hampir 40 persen dari total alokasi. Penerima manfaat terbesar kedua selama periode ini adalah Musim Mas dengan 17,5 persen diikuti oleh Darmax Agro sebesar 10,7 persen dan Sinar Mas 8 persen.

Sektor minyak kelapa sawit berkontribusi hingga 15 persen dari total emisi nasional, mayoritas berasal dari perusakan lahan gambut. Selain itu, 80 persen emisi karbon dari biofuel diproduksi oleh sektor perkebunan. Konversi lahan gambut merusak komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sebesar 29-41 persen pada tahun 2030.

Para ilmuwan telah menyatakan biofuel bukan solusi dalam menghentikan perubahan iklim, tetapi malah akan memperburuk. Tetapi perusahaan multinasional kelapa sawit telah secara praktis menetapkan aturan dalam dekade terakhir di Indonesia dan mereka tidak peduli. Mereka gagal membayar kompensasi atas kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan, memusnahkan hutan tropis dan membuat jutaan anak berisiko terkena dampak kabut asap. Jadi bagaimana pemerintah dapat menjustifikasi menggelontorkan uang ke industri yang menghancurkan negara kita sambil mengucuri dana untuk pemulihan ekonomi akibat pandemi?,” kata Arkian Suryadarma Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Catatan:

[1] Siaran pers: Pemerintah melalui BPDPKS Kucurkan Rp 2,78 triliun untuk Pengembangan Sawit Berkelanjutan

[2] Indonesia mulai meluncurkan program biodiesel yang ambisius pada 2013, dengan tujuan menyerap pasokan minyak sawit dan mengurangi impor bahan bakar fosil. Implementasi mandat B30 – tertinggi di dunia yang mengandung 30 persen bahan bakar berbasis minyak kelapa sawit – direncanakan akan diperpanjang oleh program B40 antara tahun 2021 dan 2022.

Kontak:

Arkian Suryadarma, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia. [email protected] +628119742992

Rully Yuliardi Achmad, Media Campaigner, Greenpeace Indonesia.  [email protected] +628118334409