Siaran Pers bersama Greenpeace Indonesia, Yayasan Pusaka, WALHI Papua dan LBH Papua

Jayapura, 13 September 2022 – Hingar bingar pencabutan sejumlah izin di bidang sumber daya alam, termasuk kehutanan, oleh Presiden Joko Widodo awal tahun 2022 terkesan sandiwara belaka dan rawan dimanipulasi karena tidak diikuti dengan penegakan hukum yang tegas oleh pemerintah pusat.

Perusahaan yang masuk dalam daftar Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan terus melenggang hingga saat ini. Bahkan sejak pengumuman pencabutan, hutan di Tanah Papua terus hilang.[1] Pelakunya, perusahaan yang masuk dalam keputusan menteri tersebut. 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, menyampaikan bahwa keputusannya yang memuat daftar perusahaan tersebut bersifat “deklaratif.” Tidak ada penjelasan lebih lanjut perihal ini, baik dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) maupun institusi lainnya. Greenpeace secara resmi bersurat ke KLHK, sayangnya, jawaban KLHK sangat janggal dan tidak menjawab permintaan informasi yang diajukan. 

“Apa yang dilakukan KLHK dalam penertiban izin ini merupakan bentuk teknikalisasi masalah, yang membuat masyarakat sangat dirugikan oleh situasi ini. Masyarakat, terutama masyarakat adat dihadapkan pada mekanisme penyelesaian masalah yang begitu rumit tanpa arahan yang jelas, dan yang tidak mengakui hak atas tanah adatnya mereka,” ujar Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Ketidakpastian penertiban izin yang dilakukan KLHK berdampak negatif untuk Masyarakat Hukum Adat di Lembah Grime Nawa, Provinsi Papua. Pengumuman pencabutan izin oleh Presiden awal tahun menjadi janji kosong bagi masyarakat, mengingat PT Permata Nusa Mandiri (PNM) yang masuk dalam daftar perusahaan yang dicabut, justru melakukan land clearing pasca pengumuman tersebut. Ini satu contoh pengingkaran atas komitmen presiden serta ketidaktegasan KLHK. 

Ekskavator melakukan land clearing area PT Permata Nusa Mandirii (PNM) di Nimbokrang, Jayapura, Papua. Perusahaan ini masih aktif beroperasi meski Pemerintah Indonesia telah mencabut izin.

PT PNM selama ini bagai raksasa menakutkan bagi masyarakat hukum adat di Lembah Grime Nawa. Raksasa yang siap melahap hutan tempat mereka hidup, tempat yang menyediakan berbagai protein, karbohidrat, dan vitamin, dan tempat interaksi sosial. Kehadiran PT PNM di Lembah Grime Nawa, tak pernah mendapat persetujuan seluruh masyarakat hukum adat. Masyarakat menyadari keberadaan perusahaan ketika perusahaan mulai membuka akses jalan. Sejak saat itu, masyarakat konsisten menyampaikan penolakan. 

PT PNM mengantongi surat keputusan pelepasan kawasan hutan dari KLHK sejak 2014. Keputusan dengan nomor 650/Menhut-II/2014 melepaskan kawasan hutan seluas 16 ribu hektar lebih hutan untuk perusahaan. Pelepasan kawasan hutan ini, merupakan modal perusahaan untuk mengajukan hak guna usaha (HGU). Pada 2018 beberapa bidang tanah di lokasi izin perusahaan telah memperoleh HGU. Sayangnya semua dokumen perizinan itu tak pernah memperoleh persetujuan dari masyarakat adat dengan informasi yang utuh di awal dan tanpa paksaan. 

Buktinya, masyarakat justru mengajukan untuk penetapan hutan adat. Pada 2018, Bupati Jayapura menerbitkan Surat Keputusan Bupati Jayapura Nomor 188.4/150 Tahun 2018 yang menetapkan Hutan Isyo Rhepang Muaif menjadi hutan adat pertama di provinsi Papua, yang berlokasi dalam wilayah adat di Grime Nawa.

Nyatanya sampai saat ini, janji tersebut hanya berupa selembar kertas, tanpa komitmen yang jelas. Justru, perusahaan mempercepat pembukaan hutan setelah pengumuman presiden. Saat ini total hutan yang lenyap di konsesi PT PNM sejak pengumuman tersiar, lebih dari 100 hektar.[2] 

“Masyarakat terus menuntut hadiah yang dijanjikan yaitu berupa pencabutan semua perizinan yang dikantongi PT PNM dan menetapkan wilayah tersebut sebagai wilayah masyarakat hukum adat. Oleh karenanya, Bupati wajib memastikan dirinya tidak memberi kesempatan perpanjangan izin lokasi PT PNM, mencabut izin lingkungan PT PNM, dan menghentikan operasi perusahaan,” ujar Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Pasca aksi yang dilakukan masyarakat tanggal 7 September 2022 lalu,[3] Bupati Jayapura menyampaikan komitmennya untuk tidak memperpanjang izin lokasi PT PNM, mendukung proses pemetaan adat yang berlangsung di lokasi PT PNM serta berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Papua untuk melakukan peninjauan Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) PT PNM yang sudah dicabut serta peninjauan ulang HGU PT PNM.

Selain itu, Pemerintah pusat perlu memastikan perusahaan nakal seperti PT PNM mendapatkan sanksi dan melanjutkan segala upaya untuk pengakuan masyarakat adat termasuk penetapan wilayah adat.

Belum cukup rasanya jika menjadikan masyarakat adat sebagai simbol perayaan kemerdekaan tiap bulan Agustus. Janji terhadap masyarakat hukum adat harus dibayar tuntas. 

Catatan untuk editor:

[1] Foto dan video dari kegiatan PT PNM terus beroperasi pada bulan Juli 2022: 

[2] Gambar penginderaan jauh pembukaan hutan dari Des 2021 – Juli 2022 dan gambar penginderaan jauh hingga September 2022. 

[3] Foto dari aksi penolakan masyarakat adat lembah Grime Nawa: 

Kontak media:

Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia: +62 812-8776-9880

Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat: +62 812-8729-6684

Maikel Primus Peuki: WALHI Papua: 082248000233

Emanuel Gobay, Direktur YLBHI – LBH Papua: 082199507613