Jakarta, 21 September 2022 – Perjanjian kemitraan iklim antara pemerintah Indonesia dan Norwegia baru saja ditandatangani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya dan Menteri Luar Negeri Norwegia, Barth Eide minggu lalu. Greenpeace Indonesia menilai perjanjian ini gagal menyoroti beberapa masalah penting, seperti transparansi dan pelindungan hak masyarakat adat, yang sangat berdampak pada upaya penghentian deforestasi di Indonesia. 

“Rincian kerja sama ini seharusnya dirancang untuk menyasar akar permasalahan dalam pengelolaan hutan kita, bukan sekadar berisi janji-janji manis yang mengaburkan fakta bahwa hilangnya keanekaragaman hayati, konflik dengan masyarakat adat dan lokal, dan potensi 10 juta hektar deforestasi adalah realitas yang terjadi saat ini,” kata Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia.

“MoU ini tidak menjelaskan secara spesifik bagaimana mekanisme partisipasi dan pemantauan publik harus dilakukan melalui lembaga yang kredibel, untuk memastikan tata kelola yang baik dalam implementasi kesepakatan ini. Pemerintahan Presiden Joko Widodo alergi terhadap transparansi dan telah berulang kali menolak untuk terbuka atas peta dan rincian pengelolaan hutan lainnya, bahkan mengabaikan perintah pengadilan, dan gagal memberikan kejelasan atas janji untuk membatalkan konsesi perkebunan yang bermasalah di kawasan hutan,” lanjut Kiki.

“Tanpa transparansi, publik tidak akan bisa memverifikasi penurunan emisi dari sektor kehutanan sesuai kesepakatan ini. Tapi lebih buruk lagi, pemilik tanah masyarakat adat dan lokal masih akan dibiarkan dalam gelap, tanpa bisa mengetahui, siapa yang telah menyerahkan kuasa atas lahan hutan mereka.”

Perjanjian ini ditandatangani pada 12 September 2022, tepat setahun setelah pemerintah Indonesia secara sepihak mengakhiri perjanjian sebelumnya. Isinya pun relatif sama, dengan tambahan fokus untuk mencapai Rencana Operasional FOLU net sink 2030 Indonesia yaitu rencana pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan yang lainnya yang baru.

Kiki mengatakan: “Indonesia masih sangat lamban dalam mengakui hak tanah adat di kawasan hutan. Perjanjian ini harus memuat ketentuan agar ada alokasi sumber daya yang jelas untuk mendukung percepatan proses itu. Jika tidak, penyebutan masyarakat adat sebagai ‘peserta aktif’ dalam perlindungan hutan akan tetap tidak lebih dari sekadar basa-basi.”

“Sejak perjanjian bilateral pertama, perlindungan lingkungan Indonesia telah dilemahkan di bawah peraturan-peraturan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Perusahaan yang beroperasi secara ilegal di dalam kawasan hutan Indonesia dibebaskan dari sanksi. Penegakan hukum yang lemah membuat kesepakatan Norwegia-Indonesia semakin kecil kemungkinannya untuk membuahkan hasil.”

Kontak media:

Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace untuk Indonesia, +62811-8706-074